Sastra Islam sebenarnya sudah sejak lama
ada di Indonesia. Dahulu, sastra Islam digunakan sebagai media dakwah para
walisongo dalam menyebarkan agama Islam. Pada abad ke-17 muncul tokoh-tokoh
seperti Nuruddin Arraniri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, dan lain-lain
yang juga menyebarkan agama Islam melalui karya sastra. Kemudian setelah
berdirinya Balai Pustaka yang juga merupakan
tonggak awal sastra Indonesia, sudah banyak
penulis yang membawa aliran ‘sastra Islam’ seperti Hamka. Setelah itu,
di tahun 2000-an, sastra Islam menjadi sangat populer ketika para penulis berbondong-bondong menciptakan karya yang bernafaskan Islami. Ditandai dengan munculnya novel-novel seperti: Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy yang sukses menjadi karya best-seller, disusul dengan Ketika Cinta Bertasbih 1-2, Dalam Mihrab Cinta, Pudarnya Pesona Cleopatra, dan masih banyak lagi karya-karyanya yang cukup banyak mendapat apresiasi dari masyarakat luas. Belum lagi karya penulis-penulis lain seperti Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El-Khalieqy, Makrifat Cinta karya Taufiqurrohman al-Azizy, dan lain-lain.
di tahun 2000-an, sastra Islam menjadi sangat populer ketika para penulis berbondong-bondong menciptakan karya yang bernafaskan Islami. Ditandai dengan munculnya novel-novel seperti: Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy yang sukses menjadi karya best-seller, disusul dengan Ketika Cinta Bertasbih 1-2, Dalam Mihrab Cinta, Pudarnya Pesona Cleopatra, dan masih banyak lagi karya-karyanya yang cukup banyak mendapat apresiasi dari masyarakat luas. Belum lagi karya penulis-penulis lain seperti Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El-Khalieqy, Makrifat Cinta karya Taufiqurrohman al-Azizy, dan lain-lain.
Berbeda memang antara sastra Islam yang
dulu dengan yang sekarang. Terlepas dari aspek bahasa yang digunakan, dahulu
sastra Islam yang ada bertemakan kecintaan seorang hamba kepada Sang Pencipta.
Sedangkan yang sekarang adalah kebanyakan tentang cinta makhluk kepada makhluk
lainnya yang dibalut dengan gaya islami. Dilihat dari konteks keislaman, tema
cinta –baik cinta seorang hamba kepada Tuhannya maupun cinta sesama makhluk,
tak perlu dipermasalahkan karena Islam memang menganjurkan umatnya untuk saling
mencintai selama cinta itu masih tetap berada dalam bingkai syariat. Karena
yang namanya dakwah ialah menyeru kepada kebaikan.
Sebagian berpendapat bahwa sastra Islam
kontemporer di Indonesia saat ini hanyalah sastra biasa yang menceritakan hal
biasa yang kemudian diberi label Islam. Wajar karena pengertian mengenai apa
itu sastra Islam sampai saat ini masih kabur alias tak ada rujukan yang jelas,
baik dari para sastrawan sendiri, kritikus, maupun ulama. Perihal sastra Islam
juga amat jarang disinggung karena tidak atau belum dianggap sebagai sesuatu
yang penting, sebagaimana disinggung oleh Abdul Hadi W.M.
Persoalan yang ada mengenai sastra
Islam tidak berhenti hanya sebatas pengertian dan batasan-batasannya. Banyak
pihak yang tidak setuju dengan adanya istilah atau konsep ‘sastra Islam’ dengan
berbagai alasan. Uniknya, pihak-pihak yang menolak itu justru didominasi oleh
kalangan muslim sendiri. Edy A. Effendi yang jebolan IAIN pernah menyusun buku
esai sastra (tak diketahui terbit atau tidak) yang berjudul: ‘Menolak Sastra
Islam’. Jika kalangan muslim sendiri menolak adanya sastra Islam, lalu bagaimana
eksistensi sastra Islam saat ini di Indonesia?
Tulisan ini akan membahas mengenai
apa yang dimaksud sastra Islam serta peranan
dan eksistensinya di Indonesia. Setidaknya tulisan ini dapat memberi sedikit
pemahaman mengenai beberap hal yang berhubungan dengan sastra Islam di
Indonesia.
Definisi dan Batasan
Sastra Islam
Menurut A. Teeuw kata sastra sendiri dalam bahasa Indonesia berasal dari
bahasa sansekerta; akar kata sas- dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan,
mengajarkan, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra biasanya menunjukkan
alat, sarana. Maka, berdasarkan penggabungan
tersebut sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau alat pengajaran. Bahkan kata sastra itulah yang nantinya menurunkan kata ‘santri’
dan juga ‘pesantren’ yang tidak asing lagi di telinga. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa pada mulanya sastra memang selalu berisi tentang
ajaran-ajaran. Jadi, bukanlah hal yang aneh jika kemudian muncul konsep sastra
Islam yang dapat diartikan sebagai karya sastra yang berisi tentang
ajaran-ajaran Islam. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Harun Daud,
“Tujuan kesusatraan adalah untuk mendidik dan membantu manusia ke arah
pencapaian ilmu yang menyelamatkan, bukan untuk membentuk makna spekulatif.
Sebuah karya sastra atau karya seni dalam Islam adalah alat atau bantuan dan
bukannya pengakhiran realita itu sendiri.”
Namun hingga
sekarang belum ditemukan adanya batasan secara pasti mengenai definisi sastra
Islam. Liaw Yock Fang dalam “Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik” mengungkapkan
bahwa pernah terjadi perdebatan mengenai batasan sastra Islam itu sendiri.
Permasalahan yang diperdebatkan adalah pada apa yang dimaksud dengan sastra
Islam apakah harus "mendukung nilai-nilai Islam", ataukah "berdasarkan
kisah-kisah yang tersela dalam Al Qur'an dan Hadits" ataukan "hasil
tulisan yang berdasarkan tauhid".
Dalam Manifes
Kebudayaan dan Kesenian Islam 13 Desember 1963 di Jakarta, yang dideklarasikan
untuk merespon Lekra dan Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963 para seniman,
budayawan muslim beserta para ulama yang dimotori Djamaludin Malik, menyatakan
bahwa yang disebut dengan kebudayaan, kesenian (kesusastraan) Islam ialah
manifestasi dari rasa, karsa cipta, dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada
Allah untuk kehidupan ummat manusia. Seni Islam adalah seni karena Allah untuk
umat manusia (l'art par die et l'art pour humanite) yang dihasilkan oleh
para seniman muslim bertolak dari ajaran wahyu Ilahi dan fitrah insani.
Sebenarnya tidaklah
sulit menemukan mana saja yang termasuk kategori sastra Islam. Secara
sederhana, sastra Islam ialah karya sastra yang bernapaskan islam, menjunjung
ajaran-ajaran Islam, serta terdapat unsur amar makruf nahi munkar. Bagaimana
dengan tentang percintaan sesama makhluk yang dibalut dengan unsu-unsur
ke-Islaman sebagaimana yang sudah dipaparkan di awal? Apakah termasuk juga
kategori sastra Islam? Tentu saja iya, karena Islam bukan hanya mengajarkan
cinta makhluk kepada Penciptanya, melainkan juga makhluk kepada sesama makhluk,
tumbuhan, bahkan hewan. Yang membedakan adalah gaya penceritaannya yang tidak
akan sebebas karya sastra lainnya, yaitu tidak akan mendeskripsikan hubungan
badani atau kemolekan tubuh perempuan secara vulgar hingga dapat menimbulkan
syahwat bagi pembacanya. Sebaliknya, karya sastra Islam selalu memberikan
contoh-contoh yang baik dengan maksud agar pembaca bukan hanya sekedar membaca,
melainkan mengambil pelajaran serta mempraktekkannya di kehidupan nyata.
Selain
memiliki nilai-nilai yang sesuai dengan keislaman seperti yang telah disebutkan
di atas, juga harus ditulis oleh orang Islam. Menurut Muhammad Pitchay Gani,
pengamat sastra dari Singapura, sastra Islam adalah semua bahan kesusastraan
yang dihasilkan oleh penulis yang beragama Islam dalam menyadarkan masyarakat
pembaca tentang kebesaran Tuhan dan tanggung jawab diri sebagai khalifah Allah.
Karena pengarang yang dapat menghasilkan karya sastra Islam tentulah pengarang
yang mengetahui dan mengamalkan banyak hal tentang Islam sehingga ia bisa mentransfer
nilai-nilai, nuansa, juga ruh keislaman dalam karya-karyanya. Seperti yang
dikatakan Bahrum Rangkuti, “Bila anda ingin menulis karya sastra Islam, anda
harus terlebih dahulu menjadi sastrawan yang beriman serta merealisasikan
keimanan dan keislaman melalui amaliyah yang nyata.”
Dilihat dari sudut pandang Islam sendiri,
semua yang dilakukan seorang muslim seharusnya memang tidak lepas dari ibadah
kepada Allah, termasuk dalam berkesenian dan bersastra. Karena dalam Islam,
dianjurkan untuk berdakwah di setiap hembusan nafas. Maka mereka sastrawan
Islam adalah daiyah yang pengarang, bukan pengarang yang daiyah. Tak ada
pemisahan antara kehidupan muslim di dunia dan di akhirat. Setiap apa yang
dilakukan di dunia pasti berdampak pada akhiratnya kelak. Dalam Islam juga diajarkan
bahwa setiap amal dunia yang diniati untuk ibadah akan menjadi amalan akhirat
meskipun itu amalan yang ringan dan sepele.
Menurut Helvy Tiana
Rosa, setidaknya ada tiga syarat umum sebuah karya sastra dapat dikatakan
sebagai sastra Islam. Pertama, penulisnya adalah seorang muslim yang sadar dan
bertanggu jawab akan kesucian agamanya. Kedua, karya kreatif yang dihasilkan
hendaknya sejalan dengan ajaran Islam dan tidak bertentangan dengan syariah.
Ketiga, karya tersebut mempunyai daya tarik universal dan dapat bermanfaat bagi
masyarakat mana pun mengingat Islam adalah agama fitrah.
Eksistensi
Sastra Islam di Indonesia
Pada periode
2000-an, sastra Islam seakan memberikan warna tersendiri pada dunia
kesusastraan Indonesia. Bahkan pada awal tahun 2000-an selera masyarakat seakan
disamaratakan dengan hal-hal yang berbau religi, baik film, sinetron, buku
bacaan, karya sastra, sampai para musisipun berlomba-lomba untuk membuat album
religi agar tidak ketinggalan tren.
Kehadiran sastra Islam dapat dengan
mudah diterima oleh masyarakat karena sebagian besar jumlah penduduk Indonesia
beragama Islam yang menjadikannya sebuah pasar yang menjanjikan. Apalagi di
tengah ketidakstabilan kondisi ekonomi, sosial, dan politik seperti sekarang
ini masyarakat seakan-akan merindukan suatu hiburan yang dapat mendekatkan
kembali dirinya dengan Sang Pencipta.
Sebab
lain mengapa sastra Islam masih menempati tempat khusus di hati masyarakat
adalah tema-tema yang dibawa dalam karya-karya sastra tersebut tidak bersifat
menggurui, dekat dengan kehidupan sehari-hari, serta dibawakan dengan
penceritaan yang relative mudah dipahami. Misalnya novel “Ayat-ayat Cinta” dan
“Ketika Cinta Bertasbih” yang mengambil permasalahan percintaan dalam
perspektif Islam. Percintaan antara laki-laki dengan perempuan dalam Islam
memang merupakan isu yang relevan karena seiring dengan perkembangan zaman
nilai-nilai keislaman mulai tidak tampak dalam kehidupan sehari-hari. Juga
pergaulan kawula muda semakin mengkhawatirkan dan tidak terkontrol. Penulis
mencoba untuk mengarahkan kembali nilai-nilai keislaman yang selama ini banyak
dilupakan dan memperlihatkan bahwa dalam Islam kita tetap bisa mencintai lawan
jenis akan tetapi tentu saja dengan cara-cara yang tetap berada dalam koridor keislaman.
Namun
di luar hal itu, banyak pihak-pihak yang tidak setuju dengan istilah atau
konsep “Sastra Islam”. Seperti yang telah disinggung di bagian awal,
pihak-pihak yang tidak setuju tersebut justru didominasi oleh kalangan muslim
sendiri. Mereka beranggapan bahwa adanya konsep sastra Islam sama dengan
mengotak-ngotakkan sastra. Putu Arya Tirtawirya dalam buku Antologi Esai dan
Kritik Sastra (1982) menulis, “Sastra adalah sastra, Saudaraku, tak perlu
dikotak-kotakkan. Tak usah membuat kita pening.” Begitu juga A.A. Navis yang
pernah berkata bahwa sastra Islam adalah sesuatu yang utopis untuk saat ini.
Ada juga yang berpendapat bahwa
sastra Islam dinilai kurang memiliki estetika sastra yang mumpuni dan kurang
berkualitas. TEMPO edisi April 2008 bahkan pernah menulis
bahwa fiksi Islam merebak pada awal 2000, mereka terus tumbuh tapi miskin
kualitas. Agaknya kita harus berpikir ulang mengenai pernyataan ini karena
bagaimanapun bacaan-bacaan Islami masih memiliki tempat khusus di hati
masyarakat. Mungkin saja ujaran tersebut merupakan pendapat dari
beberapa pihak yang memang bertujuan untuk menciptakan suatu karya sastra murni
sebagai hasil kesenian, sedangkan bagi penulis sastra Islam memiliki misi
khusus untuk menanamkan nilai-nilai keislaman.
Bukankah
sebuah karya sastra lahir dari keadaan sosial budaya masyarakat yang menjadi
lingkungan penciptaannya? Renne Wellek dan Austin Warren (1989: 111)
menyebutnya sebagai sosiologi pengarang —yang diantaranya adalah latar belakang
sosial dan ideologi pengarang —yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang
di luar karya sastra. Berdasarkan uraian tersebut maka wajarlah jika banyak
aliran sastra muncul dari banyak pengarang yang dipengaruhi oleh ekspresi dari
dalam diri dan sosiologi masyarakatnya. Jika pihak-pihak yang menolak adanya
sastra Islam mengerti tentang hal itu, seharusnya mereka dapat pula menghargai
tentang keberadaan sastra Islam. Karena sastra Islam jelas lahir dari keadaan
sosial budaya masyarakat yang islami pula.
Sebenarnya ada cukup banyak
sastrawan muslim yang memberi istilah sendiri pada karya sastra yang dibuatnya
yang mengarah pada sastra Islam. Hanya saja mereka masih malu-malu untuk
menyebut karya mereka sebagai sastra Islam. Maka muncullah istilah-istilah
seperti sastra pencerahan (Danarto), sastra profetik (Kuntowijoyo), sastra
sufistik (Abdul Hadi W.M.), sastra dzikir (Taufik Ismail), sastra terlibat
dengan dunia dalam (M. Fudoli Zaini), sastra transenden (Sutardji Calzoum
Bachri), dan sebagainya. Padahal istilah-istilah tersebut merupakan tafsir lain
dari sastra Islam.
Kesimpulan
Tiga syarat umum
sebuah karya sastra dapat dikatakan sebagai sastra Islam, yaitu: penulisnya
adalah seorang muslim yang sadar dan bertanggu jawab akan kesucian agamanya,
karya kreatif yang dihasilkan hendaknya sejalan dengan ajaran Islam dan tidak
bertentangan dengan syariah, dan karya tersebut mempunyai daya tarik universal
serta dapat bermanfaat bagi masyarakat mana pun mengingat Islam adalah agama
fitrah.
Dengan kehadiran sastra Islam yang
turut menyemarakkan dunia sastra Indonesia juga menjadi semakin menyamarkan
batasan mengenai sastra kanon yang selama ini sering diperdebatkan oleh
masyarakat khususnya pemerhati sastra. Mengingat animo masyarakat untuk membaca
karya-karya sastra Islam dan keberadaan sastra Islam yang semakin mendominasi
dunia penerbitan di Indonesia, tentunya kita tidak bisa memandang sastra Islam
sebelah mata. Sastra Islam juga nyatanya banyak memberikan pengaruh terhadap
dunia industri penerbitan, perfilman, serta mempengaruhi tren dalam masyarakat.
Sehingga perlu dirumuskan kembali batasan estetika sastra yang kemudian
melahirkan istilah sastra populer dan sastra kanon pada periode 2000-an ini.
Daftar
Pustaka
Audah, Ali. 1999. Dari
Khazanah Dunia Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al Faruqi, Ismail Raja. 1986. Cultural Atlas of Islam. New York: Mc Millan.
Fang, Liauw Yock. 1991. Sejarah Kesusasteraan
Melayu Klasik. Jakarta:
Erlangga.
Rosa, Helvy Tiana. 2003. Segenggam Gumam.
Bandung: Syaamil Cipta Media.
Wellek, Renne dan Austin Warren.1989. Teori
Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Comments
Post a Comment