FORUM
LINGKAR PENA: ANTARA SASTRA RELIGIUS DAN SASTRA RENDAH
Pada dekade terakhir ini Indonesia khususnya
dunia tulis-menulis diramaikan oleh munculnya penulis muda berusia 30 tahun ke
bawah serta maraknya kantong-kantong sastra di Jakarta dan banyak kota besar
lainnya. Diawali dengan tumbuhnya komunitas
berskala nasional seperti Forum Lingkar Pena (FLP) dan Komunitas Sastra
Indonesia (KSI), lalu didukung juga kelompok diskusi kepenulisan lokal nyaris
di seluruh pelosok republik. Apalagi di zaman bertahtanya jejaring sosial
sekarang. Facebook dan Twitter telah melipatgandakan pertumbuhan jumlah penulis
baru. Ruang publikasi yang selama ini terbatas hanya seminggu sekali di media
massa cetak kini meluas dengan adanya blog dan jejaring sosial.
Salah satu yang dianggap
paling fenomenal adalah munculnya Forum Lingkar Pena (FLP), sebuah organisasi
kepenulisan dan pengaderan penulis yang didirikan oleh Helvy Tiana Rosa, dan
kawan-kawan pada 22 Februari 1997 di Jakarta. Sejak didirikan hingga sekarang,
Forum Lingkar Pena memiliki kurang lebih 7000 anggota yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia bahkan mancanegara dan
menerbitkan lebih dari 2 juta buku yang sebagian besar terdiri dari karya
sastra serius, fiksi remaja, dan cerita anak. Belakangan mulai merambah non
fiksi dan skenario. Tidak ada orang atau lembaga yang mensponsori FLP.
Kemandirian ini memungkinkan FLP menulis sesuai kata hati. Koran tempo, salah
satu media paling berwibawa di Indonesia, menyebut FLP sebagai sebuah 'Pabrik
Penulis Cerita'.
Banyak pihak yang
mengomentari hal terkait fenomena Forum Lingkar Pena ini. Persoalan yang
dibahas mulai dari sejauh mana kualitas tulisan yang dihasilkan oleh komunitas
Forum Lingkar Pena, dapatkah mereka
membangun sebuah mainstream dalam konstelasi sastra Indonesia? Hingga anggapan
bahwa Forum Lingkar Pena hanya menghasilkan karya-karya sastra bermutu rendah
meskipun anggotanya berjumlah ribuan dan tersebar di seluruh kota dan
mancanegara.
Sejarah
Lahirnya Forum Lingkar Pena
Enam belas tahun yang lalu, Helvy Tiana Rosa,
Asma Nadia, Muthmainnah serta beberapa orang dari Fakultas Sastra Universitas
Indonesia berkumpul di Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia.
Pertemuan berlanjut membicarakan minat membaca dan menulis para remaja
Indonesia. Saat itu yang ada di benak mereka adalah bagaimana menyajikan bacaan
yang bermutu sekaligus bagaimana menyalurkan potensi menulis dengan tepat
karena mereka yakin betapa efektifnya menyampaikan gagasan melalui tulisan. Di
sisi lain sebenarnya cukup banyak anak muda yang mau berkiprah di bidang
penulisan, tetapi potensi mereka kerap tak tersalurkan atau intensitas menulis
masih rendah, di antaranya karena tiadanya pembinaan untuk peningkatan kualitas
tulisan. Lebih dari itu, semua yang hadir menyadari betapa efektifnya
menyampaikan gagasan melalui tulisan (Rosa, 2003:42). Akhirnya, 22 Februari
1997 berdirilah Forum Lingkar Pena (FLP) dengan Helvy Tiana Rosa sebagai Ketua
Umum.
Saat itu
anggotanya tak lebih dari 30 orang saja. Mereka mengadakan acara rutin pekanan
dan bulanan berkaitan tentang penulisan untuk anggota, dengan mengundang pakar
di bidang tersebut serta mengadakan bengkel penulisan secara kecil-kecilan dan
merekrut anggota baru. Tahun 1998, seorang penulis muda dari Kalimantan Timur:
Muthi Masfufah, mendirikan FLP Wilayah
Kalimantan Timur yang berpusat di Bontang serta cabangnya di Samarinda, Balik
Papan, Tenggarong dan kemudian Sangata. Inilah kepengurusan wilayah pertama
dalam sejarah FLP. Pada tahun 1999, mulai banyak permintaan dari daerah, untuk
membentuk kepengurusan FLP di tiap propinsi.
Majalah
Annida sebuah majalah fiksi Islami menjadi salah satu sarana bagi munculnya
karya-karya anggota FLP. Majalah tersebut juga membuat rubrik khusus berisi
info FLP dan menjadi sarana merekrut anggota baru. Yang mengejutkan, lebih dari
2000 orang mendaftar menjadi anggota melalui Annida. Ditambah lagi, sampai
tahun 2003, berdasarkan masukan dari tiap wilayah, tak kurang dari 3000 orang
telah mendaftarkan diri pula melalui berbagai acara yang digelar oleh
perwakilan-perwakilan FLP di seluruh Indonesia dan mancanegara.
Dari
jumlah itu, sekitar 500 adalah penulis aktif. Mereka tinggal di lebih dari 100
kota di Indonesia. Banyak di antara mereka meraih penghargaan dalam berbagai
lomba penulisan tingkat propinsi, nasional bahkan internasional. Sekitar 75%
penulis majalah Annida, bergabung dalam FLP. Lalu ada pula sekitar 200
pengelola dan penulis buletin atau media kampus. Kebanyakan anggota FLP adalah
pelajar dan mahasiswa. Ada juga pegawai negeri, karyawan swasta, buruh, ibu
rumah tangga, guru, petani, dan lain-lain.
Forum
Lingkar Pena dengan Genre Sastra Religius
Dalam
konstelasi sastra Indonesia, kehadiran sastra religius telah memberikan warna tersendiri.
Bahkan Ajip Rosidi mengatakan bahwa sastra Indonesia kontemporer saat ini
merupakan buah dari penyebaran karya sastra religius (Islam) di era
kesusastraan lama. Penyebaran agama Islam dengan karya sastranya telah
mendorong meluasnya peradaban tulis menulis dalam masyarakat. Hal ini dapat
dibandingkan dengan kondisi sastra sebelum Islaam datang yang hanya dikuasai
dan dipahami oleh pihak istana keraton semata (1995:336).
Puncak keberhasilan sebuah
karya sastra adalah bertemunya kebenaran dan religiusitas degan keindahan
(Noor, 2011:82-83). Dengan kata lain, sebuah karya sastra dapat menghadirkan
keindahan dan religiusitas secara seimbang ketika hendak disajikan ke hadapan
pembacanya. Sebab, seperti yang dikatakan oleh YB Mangunwijaya (1988) bahwa pada
awal mula, segala sastra adalah religius.
Religiusitas
dipahami sebagai riak getaran hati nurani pribadi, lebih dalam dari agama yang
tampak formal dan resmi (Mangunwijaya; 12). Juga dapat diartikan sebagai
perasaan rindu, perasaan ingin selalu bersama dengan sesuatu yang abstrak, yang
berada di luar jangkauan pikiran dan hati, yang kendati pun abstrak tetapi
keberadaannya sangat riil (Noor, 2011:83).
Pada dekade
2000-an sastra religius banyak bermunculan dan menghiasi jagat sastra
Indonesia. Genre sastra yang dimotori oleh Helvy Tiana Rosa bersama Asma Nadia
dan kawan-kawan lewat Forum Lingkar Pena masuk ke dalam apa yang dikatakan
Goenawan Mohamad sebagai sastra keagamaan. Yaitu sastra yang dibuat dengan
sadar oleh para pengarangnya yang menitikberatkan kehidupan keagamaan sebagai
pemecah persoalan kehidupan.
Dalam
karya-karya yang dihasilkan oleh kelompok FLP ini unsur dakwah agama dan upaya
penyadaran moral sungguh menonjol. Tidaklah mengherankan apabila banyak yang
mengkritik karya-karya FLP ini yang terlalu tendensius menonjolkan segi dakwah
dibanding estetika penulisan. Misalnya, Damhuri Muhammad mengemukakan bahwa
sastrawan-sastrawan muda Islam banyak yang terkurung dalam idealisme
keislamannya sendiri hingga mencitrakan sastra Islam ebagai sastra yang
‘melulu’ berisi dogma-dogma fiqhiyah, kriteria halal-haram, demarkasi hitam
putih antara muhrim nonmuhrim yang
mengabaikan eksplorasi estetik sebagai unsur penting dalam sastra (2010:17).
Karya-karyanya
lebih banyak mengeksplorasi persoalan kehidupan remaja. Hal ini diakui oleh
Topik Mulyana (2007:29) yang menyebutkan bahwa karya-karya FLP dibuat sebagai
upaya bacaan alternatif untuk melawan bacaan teenlit dan chicklit yang
dianggap mengandung nilai-nilai yang merusak akhlak, hedonisme dan sekularisme.
Oleh karena itulah, pada 22 Maret 2008, dalam harian Pikiran Rakyat, M. Irfan
Hidayatullah, ketua umum FLP, memproklamirkan apa yang disebutnya sebagai Islamic Pupular Literature (Ispolit).
Ispolit merupakan kredo dari visi sastra Islam yang dijunjung tinggi oleh FLP
yang memberikan wacana negosiasi budaya terhadap perkembangan sastra Indonesia
mutakhir dengan tujuan berdakwah lewat tulisan yang secara sadar mengakui bahwa
karya-karya yang dihasilkan oleh FLP berada pada apa yang disebut oleh kritikus
sebagai sastra populer.
Anggapan Forum
Lingkar Pena sebagai Sastra Rendah
Sastra
populer, berdasarkan pandangan modernis, termasuk ke dalam kategori `budaya
rendah’, karena merayakan selera massa atau orang
kebanyakan, demi mendapatkan popularitas. Sastra massa diproduksi oleh
sekelompok elit (penulis, seniman, produser, distributor), yang mencari segala cara agar karyanya diterima oleh massa luas, dengan mengutamakan motif keuntungan (profit). Karya sastra itu kini menjadi bagian dari industri kebudayaan, yang menghasilkan karya-karya yang memenuhi `selera massa’ (selera rata-rata), yang muldah dipahami oleh massa yang luas. Selera itu tidak berasal dari massa, tetapi dikonstruksi untuk mereka oleh para elit produser.
kebanyakan, demi mendapatkan popularitas. Sastra massa diproduksi oleh
sekelompok elit (penulis, seniman, produser, distributor), yang mencari segala cara agar karyanya diterima oleh massa luas, dengan mengutamakan motif keuntungan (profit). Karya sastra itu kini menjadi bagian dari industri kebudayaan, yang menghasilkan karya-karya yang memenuhi `selera massa’ (selera rata-rata), yang muldah dipahami oleh massa yang luas. Selera itu tidak berasal dari massa, tetapi dikonstruksi untuk mereka oleh para elit produser.
Sastra
populer membangun sebuah kategori estetik yang komersial,
yang oleh. W.F. Haug disebut sebagai `estetika komoditi’ (commodity
aesthetics), yaitu estetika yang melaluinya bentuk-bentuk estetik diciptakan berlandaskan motif daya tarik, keterpesonaan eye catching dan perhatian massa konsumer semata, dengan mengangkat berbagai bentuk daya pesona (fetishism) untuk memenuhi hasrat rendah pembaca. Untuk itu, sastra mengeksploitasi anekaragam emosi, sentimen, hasrat, ideal, angan-angan, dan imajinasi poluler yang hidup di dalam pikiran kolektif, agar lebih mudah dicerna dan dipahami oleh massa, tanpa memerlukan kompetensi pembacaan yang tinggi. Sastra macam ini tidak terlalu mementingkan logika dari sebuah ekspresi, demi merayakan daya pikat, daya tarik, daya pukau dan daya pesona.
yang oleh. W.F. Haug disebut sebagai `estetika komoditi’ (commodity
aesthetics), yaitu estetika yang melaluinya bentuk-bentuk estetik diciptakan berlandaskan motif daya tarik, keterpesonaan eye catching dan perhatian massa konsumer semata, dengan mengangkat berbagai bentuk daya pesona (fetishism) untuk memenuhi hasrat rendah pembaca. Untuk itu, sastra mengeksploitasi anekaragam emosi, sentimen, hasrat, ideal, angan-angan, dan imajinasi poluler yang hidup di dalam pikiran kolektif, agar lebih mudah dicerna dan dipahami oleh massa, tanpa memerlukan kompetensi pembacaan yang tinggi. Sastra macam ini tidak terlalu mementingkan logika dari sebuah ekspresi, demi merayakan daya pikat, daya tarik, daya pukau dan daya pesona.
Penyucian
sastra dan budaya tinggi adalah dengan melepaskannya dari
cengkeraman pengaruh industrialisasi, komersialisasi dan komodifikasi
budaya, khususnya dari pengaruh estetika komoditi kapitalisme. Kaum
modernis menolak sastra populer karena dianggap lebih mengutamakan
penampakan luar, sifat permukaan, kekuatan menghibur, daya pesona, dan
tidak terlalu memperdulikan kedalaman makna, peran edukasi, legitimasi pengetahuan (knowledge), kebenaran informasi, dan muatan kebenaran (truth). Sastra populer cenderung melakukan berbagai bentuk penyederhanaan, reduksi kultural, manipulasi pikiran ke arah imajinasi-imajinasi populer (tentang kecantikan, kesempurnaan, kehidupan utopis), tanpa didukung oleh argumentasi logis, sehingga tidak membangun massa (pembaca) yang kritis.
cengkeraman pengaruh industrialisasi, komersialisasi dan komodifikasi
budaya, khususnya dari pengaruh estetika komoditi kapitalisme. Kaum
modernis menolak sastra populer karena dianggap lebih mengutamakan
penampakan luar, sifat permukaan, kekuatan menghibur, daya pesona, dan
tidak terlalu memperdulikan kedalaman makna, peran edukasi, legitimasi pengetahuan (knowledge), kebenaran informasi, dan muatan kebenaran (truth). Sastra populer cenderung melakukan berbagai bentuk penyederhanaan, reduksi kultural, manipulasi pikiran ke arah imajinasi-imajinasi populer (tentang kecantikan, kesempurnaan, kehidupan utopis), tanpa didukung oleh argumentasi logis, sehingga tidak membangun massa (pembaca) yang kritis.
Anggapan bahwa karya-karya
yang dihasilkan FLP sebagai masuk kategori sastra populer sangat mungkin
didasarkan pada stigma awal yang masih melekat, belum mencermati secara lebih
komprehensif, dan tampilan cover yang memang mengesankan sebagai ciri sastra
populer. Oleh karena itu, menilai kontribusi FLP –sejak kelahirannya tahun 1997
–dalam peta kesusastraan Indonesia dan menempatkannya dalam komunitas sastra,
tidak dapat dilakukan secara subjektif.
Dalam hal ini Topik Mulyana,
pegiat FLP Bandung menanggapi bahwa dalam salah satu anggaran dasar FLP,
misinya ialah mencerdaskan masyarakat Indonesia melalui budaya membaca dan
menulis. Jadi, target utamanya adalah bagaimana masyarakat Indonesia melalui
budaya membaca dan menulis, bukan bagaimana menghasilkan karya yang adiluhung,
seperti “yang dihasilkan kaum elite itu”.
Kesimpulan
Dalam
peta komunitas sastra di Tanah Air, FLP berbeda dengan komunitas lain, misalnya
Teater Utan Kayu (TUK) yang cenderung elitis dengan sejumlah nama besar yang
menempel di belakangnya atau Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang coba
menggarap potensi-potensi terpendam calon sastrawan di kawasan Jakarta dan
Tangerang, FLP menerima keanggotaannya tidak dibatasi oleh faktor usia, agama
atau apapun. Meski
demikian para anggota FLP memiliki niat yang sama, yaitu membagi seberkas
cahaya bagi para pembaca dan menganggap kegiatan menulis adalah bagian dari
ibadah. Oleh karena itu tidak heran
apabila karya-karya yang dihasilkan berbau religius. Jadi, ketika masyarakat
masih terperangkap pada pandangan bahwa dunia sastra dan kehidupan sastrawannya
adalah dunia yang penuh kebebasan, urakan, eksentrik, dan berbagai pandangan
buruk lainnya, FLP menampilkan diri dengan citra yang sebaliknya.
Mengenai
karya-karya yang dihasilkan yang dikategorikan sebagai sastra populer atau
sastra rendah mereka tidak terlalu mempersoalkan, karena yang dititikberatkan
adalah apa yang disampaikan, pelajaran moral, dan manfaat yang dapat diambil
oleh para pembaca khususnya para remaja Indonesia. Target utamanya adalah
bagaimana masyarakat gemar membaca dan menulis.
Yang dilawan
FLP bukanlah karya-karya sastra “serius”, melainkan karya-karya seperti chiklit
dan teenlit karena di dalamnya diasumsikan mengandung nilai-nilai yang merusak
akhlak. Dengan kemasan populernya, FLP tampil sebagai chiklit dan teenlit yang
menawarkan nilai-nilai Islam. Para penyambutnya rata-rata adalah mereka yang
bergiat dalam aktivitas dakwah Islam, seperti organisasi mahasiswa Islam, kader
partai Islam, dan remaja masjid yang sebelumnya merupakan masyarakat nirsastra.
Maka selain ingin memperbaiki moral masyarakat, FLP juga ingin mengajak seluruh
masyarakat untuk bersastra.
Daftar Pustaka
Rosidi, Ajip. 1995. Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Djakarta:
PT DUNIA PUSTAKA JAYA.
Rosa, Helvy Tiana. 2003. Segenggam Gumam. Bandung: Syamil Cipta
Media
Muhammad, Damhuri. 2010. Darah Daging Satra Indonesia.
Yogyakarta: Jalasutra
Mulyana, Topik, Yus R. Ismail. 2007. Jurnal Seorang Pecinta: Setangkup Sajak. Bandung: Pustaka Latifah.
Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius.
Comments
Post a Comment