44th
Untuk ibuku tercinta
yang selalu kupanggil “Mamak” karena panggilan “Ibu” begitu mainstream katanya.
Ibu lurah, ibu nyai, ibu guru, ibu penjual gorengan, ibu-ibu pejabat, ibu-ibu
tetangga, semuanya dipanggil Ibu. Kalau “Mamak” pasti hanya ibu kandung yang mendapat
panggilan itu.
Lima hari yang lalu,
ada seorang (guru) yang bercerita padaku. Dia bilang aku beruntung dibesarkan
olehmu. Caramu mendidik anak-anakmu berbeda dengan orang lain mendidik
anak-anaknya. Bukan hanya sabar, tapi kau tega. Kau tidak menuruti semua
kemauan anakmu, kau tidak memanjakan anakmu, tapi kau tidak melepaskan
anak-anakmu begitu saja. Panjang lebar dia mengungkapkan penilaiannya terhadap
dirimu dan Bapak dalam pandangannya. Aku sebenarnya tidak terlalu paham mengapa
dia tiba-tiba berkata demikian. Bingung menanggapi pembicaraan itu, kusela,
“Masa iya? Tapi adekku yang paling kecil itu nakal kok!” “Dia akan lebih nakal
lagi kalau bukan ibumu yang mendidiknya,” jawabnya singkat.
Menurutku dia salah
berkata begitu. Yang benar, aku beruntung bukan hanya karena dibesarkan olehmu,
melainkan semenjak dilahirkan dan dikandung olehmu. Bagaimana tidak beruntung
dilahirkan dari seorang ibu yang pintar dan cerdas? Cerita masa mudamu adalah
inspirasi yang tak pernah padam. Kau bisa saja memilih tetap menjadi guru SD,
kau bisa saja memilih tetap mengajar pramuka, tapi kau memilih hidup serba tak
pasti bersama Bapak. Dan di desa Bapak. Kau bisa saja tak setuju pindah rumah
ke Demak, tapi kau mempertimbangkan pendidikan dan pergaulan anakmu meskipun
hidup serbasederhana. Di desa, pergaulan lebih tertata. Di desa, uang bukan
segalanya. Di desa, hidup bukan hanya soal “aku” sekeluarga, melainkan juga
masyarakat, tetangga-tetangga, anak tetangga, dan semuanya bahwa setiap orang
adalah bagian dari hidup orang lain.
Selamat ulang tahun, Mamak. Aku kirimkan lipstik wardah red pallete untukmu. Meskipun sepele,
meskipun telat seminggu lipstiknya sampai karena pak pos ternyata memberinya
pada orang yang tidak amanah, dan aku harus bolak-balik ke kantor pos
menanyakan kiriman yang tak kunjung datang, akhirnya lipstik itu sampai juga di
tanganmu. Dan kau terkejut, anak wedhok tiba-tiba memberi lipstik warna-warni. Bukan maksud apa-apa, Mamak
sayang, itu biar dirimu bisa ganti-ganti warna lipstik, bukan hanya sebatang
tak bermerek yang kau beli di toko kelontong. Karena aku tau, sekalipun kau
mampu membelinya sendiri, tapi sesuai naluri keibuanmu, kau selalu
"eman" membeli barang-barang yang yang tidak ada urgensinya untuk
banyak orang. Kau selalu lebih memilih untuk membelikan sesuatu untuk
anak-anakmu daripada untuk dirimu sendiri.
Itu bukan hadiah ulang tahun, hadiah ulang tahun sesungguhnya
adalah nanti ketika aku mampu memberikan mahkota kebanggaan impian seluruh
orang tua di dunia. Nanti ya, sabar. Sabar sambil terus doakan putrimu ini di
ujung sajadah tiap sepertiga malam-malam kita.
Doa untukmu, semoga engkau
di”pernahke” (belum menemukan bahasa Indonesia yang tepat untuk kata ini) oleh
Allah, semoga engkau dan bapak mendapat kesempatan untuk mengenakan mahkota itu
dariku. Aku di sini masih berusaha menjadi anak kebanggaanmu, anak yang tau
diuntung, kakak yang patut ditiru, dan terus berbakti tiada henti.
Comments
Post a Comment