Yeay!
Akhirnya ada waktu dan mood yang tepat untuk kembali menyentuh tuts-tuts
keyboard ini. Sebenarnya setiap hari di pikiran saya rasanya ingin menulis,
ingin menulis, ingin menulis terus. Eh giliran nyalain laptop malam-malam malah
ngantuk dan ketiduran. Siang biasanya nulis di notes hp, tapi sekarang hpnya
lagi sakit, LCD-nya minta ganti. Hanya saja saya belum bisa melepaskan hp
barang sehari karena pekerjaan menuntut saya untuk sewaktu-waktu dihubungi dan
berganti jadwal.
Malam
ini saya ingin menulis tentang apa yang akhir-akhir ini sedang asyik saya baca.
Apa coba? Kemarin saya baru mendapatkan bukunya Ibuk Retno, Happy Little Soul. Setengahnya sudah
saya baca, setengahnya lagi belum. Mau bilang belum sempat, tapi malu sendiri.
Mana ada belum sempat? Orang balesin komen di instagram aja sempat kok baca
buku gak sempat. Hihihi
Kembali
ke cerita yah. Di buku itu si Ibuk cerita dari awal mula menikah dan
membayangkan memiliki anak ceria yang cerdas sampai akhirnya berhasil diamanahi
Allah untuk merawat anak dambaan semua orang, Kirana. Bukan hanya Kirana yang
hebat, melainkan si Ibuk lah yang hebat, bahkan ibuknya si ibuk jauh lebih
hebat karena berhasil mendidik putrinya menjadi ibu seperti ibunya Kirana.
Menurut
saya, kehadiran Kirana menjadi oase tersendiri di tengah canggihnya teknologi
yang menumbuhkan anak menjadi gila smartphone dan game online. Itulah salah
satu alasan mengapa followernya ibuk Retno sampai ratusan ribu. Ya karena
orang-orang sudah jarang menemukan anak kecil seperti Kirana yang baik hati,
penuh cinta, menghibur, peka, penuh empati, nurut, pandai bicara, ceria,
penyayang, dan menggemaskan melebihi anak-anak lain seusianya.
Lalu
tadi sore adik angkatan saya, Prilla bercerita tentang tetangganya penemu
jarimatika, Ibu Septi Peni Wulandani. Kisahnya sudah pernah saya baca
sebelumnya, Tapi cerita dia membangkitkan memori dan membuat saya semakin
penasaran ingin baca sendiri tulisan-tulisan Ibu Septi. Beberapa menit kemudian
saya sibuk stalking status fesbuk beliau, putra-putri beliau, dan blog-blog
tulisan mereka semua. Dan, ya, saya langsung ngefans dengan semuanya.
Diceritain ga ya… Banyak sekali: mulai dari keluarga yang dari awal sudah
merancang core mission (misi inti)
sementara keluarga lain baru memikirkan soal core value (tata nilai inti), proyek tahunan masing-masing anggota
keluarga, semua anak yang beliau didik sendiri dan sudah sukses di usia muda,
dan ah masih banyak lagi.
Persamaan
dari kedua ibuk hebat tadi adalah sama-sama berusaha menjadi yang terbaik agar
menjadi role model (patron) untuk
anaknya. Mereka sadar bahwa seorang anak mungkin tidak mendengarkan, tetapi ia
pasti meniru. Anak yang hebat belum tentu lahir dari ibu yang hebat. Akan
tetapi, ibu yang hebat pasti menghasilkan anak yang lebih hebat.
Eh
tapi gak adil kalau semuanya jadi tugas ibu. Saya yakin seorang ayah juga pasti
punya peran untuk mendidik putra-putri yang hebat. Setidaknya dia berperan
dalam menciptakan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan putra-putrinya. Si
ayah juga wajib memiliki attitude yang baik agar ditiru oleh anak-anaknya… eh, bahasan
soal Ayah besok lagi aja deh.
Saya
rasa, di mana pun berada, sekalipun belum punya anak, kita tetap harus berusaha
menjadi role model. Walau tidak ada
yang meniru, walau paling kecil, walau bukan siapa-siapa, setidaknya
membiasakan diri agar jadi role model
untuk putra-putrinya kelak.
“Your children will become who you are, so be who you
want them to be.”
David Bly
Bagi
dirimu sebagai seorang sulung, juga orang yang memiliki tanggung jawab di asrama,
menjadi role model adalah hal utama
yang harus kamu kuasai selain menjadi tukang ceramah mereka. Akan tetapi,
jangan pernah sekali pun kamu berbuat kebaikan demi ingin pujian dari mereka.
Tanamkan dalam hatimu, mereka mungkin tidak mendengarkan, tapi mereka pasti
meniru. Belum lah disebut kakak yang baik kalau belum bisa membuat adik-adiknya
jauh lebih baik.
Comments
Post a Comment