Banyak hal di dunia ini yang kita inginkan dan kita kejar mati-matian walaupun sebenarnya tidak selayak itu untuk diperjuangkan. Uang misalnya. Teman saya berusaha kesana-kemari mencari pekerjaan dan ia terlihat begitu putus asa dan tertekan. Padahal apa yang sedang ia jalani saat ini juga sebuah pekerjaan. Teman satu jurusan saya yang beda universitas kemarin juga mengeluh bahwa ia sedang tertekan, dia bingung kalau sudah lulus nanti mau kerja apa, cari uang dari mana untuk hidup, dan mau kerja di mana. Padahal dia sekarang baru semester lima. Saya bahkan sampai lulus tidak terlalu memusingkan hal demikian. Hm, padahal kalau dilihat secara kasap mata hidup mereka lebih cukup daripada saya.
Kadang saya
berpikir, apakah mungkin pikiran bahwa ‘uang tidaklah sepenting itu untuk
dicintai’ dalam diri saya muncul, karena saya tidaklah sekaya mereka yang punya
uang melebihi apa yang mereka perlukan. Apakah mungkin pikiran bahwa ‘harta
tidaklah sepenting itu untuk dicari’ dalam diri saya muncul, karena saya
tidaklah ‘seberuntung’ mereka yang punya segalanya. Atau apakah ini mungkin
hanya penyangkalan saya semata? Bahwa saya memang tidak sehebat itu untuk mampu
membeli segala yang saya butuhkan; apalagi segala yang saya inginkan.
Kalau ditanya titik
terendah dalam hidup saya dan keluarga, jawabannya adalah pada masa-masa saya
masih sekolah meskipun orang tua saya selalu berusaha memberikan apa yang
diinginkan putra-putrinya. Oleh karenanya sejak lulus Aliyah saya merasa tidak
lagi memiliki wajah untuk meminta uang kepada orang tua saya; bila itu hanya
untuk keinginan saya memiliki ponsel terbaru, atau baju baru karena baju yang
saya pakai ya cuma itu-itu saja, atau sepatu baru—karena saya tidak punya
sepasang sepatu yang cukup untuk saya pakai 7 kali bergantian dalam satu
minggu. Tapi saya merasa semuanya baik-baik saja. Allah selalu memberi jalan
sehingga saya masih bisa beli baju untuk kebutuhan, masih bisa makan apa yang
sama mau, sesekali baju yang saya inginkan meskipun harus dengan menabung dan
berpuasa terlebih dahulu.
Ada sebuah Indian Proverb yang berbunyi; I had no shoes and complained, until I met a man who had no feet. Anggap lah apa yang sudah saya lalui dalam hidup saya, mampu membuat saya mengamini kalimat barusan. Manusia butuh makan, tapi siapa bilang manusia butuh makan yang sangat enak? Manusia butuh pakaian, tapi siapa bilang manusi butuh pakaian yang sangat indah?
Dulu
saya sering menyesali keputusan Bapak yang pindah ke desa. Hal itu membuat saya
merasa serba terbatas, terutama ekonomi. Tidak ada lagi jalan-jalan tiap akhir
pekan, tidak ada lagi makan di McD, tidak ada lagi jalan-jalan ke mall. Yang
ada hanyalah sawah membentang dan rumah kami yang sederhana, jauh dari kota,
dan belum jadi-jadi sampai sekarang. Saya yakin ibu saya juga dulu tertekan.
Beliau pasti ingin bekerja lagi sebagaimana masa mudanya di kota. Tapi lama-lama
mereka menerima dengan lapang dan terbiasa dengan kehidupan yang amat sederhana
dan jauh dari kepastian gaji sebagaimana PNS.
Pegangan
mereka adalah bahwa rizki mengejar tuannya seperti maut mencari pemiliknya, dan
bahwa rizki anak sudah diatur oleh Yang Maha Pengatur. Maka yang mereka tanamkan
pada saya adalah bahwa saya tidak perlu memprioritaskan uang banyak sebagai
tujuan hidup yang harus saya cari. Saya hanya perlu melakukan hal terbaik yang
bisa saya lakukan. Nanti Allah balas juga sepadan dengan apa yang telah dikerjakan,
bahkan lebih. Cukup selalu menjadi anak baik bagi orang tua dan manusia baik untuk
orang-orang di sekitarnya. Oleh karenanya saya bebas menentukan pilihan ingin
kerja di mana saja tanpa harus dipusingkan dengan berapa gaji yang akan saya
dapatkan.
Keinginan
untuk membantu orang tua tentu saja ada karena Bapak saya adalah tulang
punggung satu-satunya di rumah. Tapi karena orangtua tidak pernah meminta, maka
berapa pun yang saya beri, mereka menerimanya dengan senang hati dan membalasnya
dengan ribuan doa. Ya Allah, semoga besok saya bisa menjadi orang tua seperti
orang tua saya, yang tidak ingin bergantung dan meminta kecuali hanya kepada-Mu.
Saya
ingat juga dulu ketika teman-teman perempuan sebaya saya waktu MTs ditanya
ingin jadi apa, kebanyakan menjawab ingin jadi isteri konglomerat yang di rumah
tinggal kipas-kipas aja. Sedangkan saya malah menjawab, “Ingin jadi isteri
Kyai,” Hahaha. Sama-sama jawaban yang bodoh karena masih bergantung pada orang
lain.
Epilog
Kapan
itu saya ingat betul percakapan seorang Ustad dengan jamaahnya di televisi,
“Ustad, kapan saya bisa kaya?!”
“Astaghfirullohhaladzim,
ente pikir harta ente kurang. Itu mata bisa ngeliat, kaki bisa jalan, telinga
bisa denger. Kita itu kaya-nya luar biasa!”
“Yaaa maksud saya
bukan kaya sehat ustad. Kaya uang, saya udah bosen hidup miskin terus ini!”
“Ente tahu, Allah
SWT bilang; Ketaqwaanmu tidak akan pernah bisa mengubah takdirmu!”
“Yahhhh kalo gitu
sampe lebaran monyet saya bakal miskin terus dong?!”
“Yeee tunggu dulu,
gue belum selesai ngomong. Ketaqwaanmu tidak akan pernah bisa mengubah
takdirmu. Tapi Aku bisa! Nah, jadi lo pikir sendiri deh tuh.”
Seriously waktu nonton
saya sempet bengong beberapa detik. Saya terkesima dengan kalimat itu. Ketaqwaanmu
tidak akan pernah bisa mengubah takdirmu. Tapi Aku bisa!
Ya, Tuhan begitu
besar kuasanya. Kita yang kerap menyepelekan ukurannya dengan berputus
asa. Kita yang kecil ini, sering kali mengecilkan peran Tuhan kita sendiri.
Dan betapa kurang
ajarnya kita bila kita yang terlahir normal masih merasa miskin dalam hidup.
Cara pandang kita lah yang membuat kita miskin. Jadi, jangan pernah
mau dimiskinkan dunia, teman. Jangan. Atau
Tuhan akan benar memiskinkanmu, mengambil setiap nikmat yang telah dia
titipkan. Karena kamu bahkan lupa melihatnya sebagai nikmat.
Ada
satu lagi nasihat yang saya masih terngiang-ngiang dibuatnya. Dunia itu jangan
dikejar-kejar, tapi dibeli dengan sedekah. Kalau kita ingin mendapatkan banyak,
tentu banyak juga harus rela kita beri atau sedekahkan. Dan sedekah tidak
melulu berupa uang. Senyum yang menghangatkan sedekah, dua rokaat dhuha
sedekah, menyingkirkan batu di jalan sedekah, memudahkan urusan orang lain
sedekah, tapi bukan berarti pelit dengan harta. Karena nyatanya harta atau uang
tidak seberapa yang diberikan ke orang lain tidak akan pernah habis, justru
uang yang kita konsumsi sendiri yang sejatinya habis tak bersisa.
Comments
Post a Comment