Entah sejak kapan tepatnya, dulu setelah lulus sekolah SMA saya pernah bertekad untuk mendidik anak saya sendiri kelak, tanpa perlu harus sekolah di usia dini. Sebuah tekad yang tidak berdasar, tanpa konsep, dan terkesan ngawur. Saya ingat betul pernah mengungkapkan hal itu dengan seseorang. Dia bilang,
Itu namanya sok pintar. Anak-anak **** (menyebut
profesi yang hanya bisa didapat melalui ascribed status) yang jelas lebih
tinggi ilmunya dari kamu saja masih butuh orang lain untuk mendidik anaknya.
Mereka malah mendedikasikan hidupnya untuk mendidik anak orang lain. Banyak
dari mereka yang anaknya justru dirawat oleh santri-santrinya.
Merasa
dipatahkan sebelum berkata banyak, saya segera urungkan tekad saya itu dan
menyimpannya sendiri dalam hati lama-lama. Hingga akhir-akhir ini, apa yang
saya alami dan rasakan memaksa saya untuk mempelajari dan mengingat-ingat tekad
saya beberapa tahun lalu. Segala pertanyaan muncul, mengapa ada anak yang
tumbuh begini dan ada anak yang tumbuh begitu? Mengapa saya tumbuh begini dan
teman saya tumbuh begitu? Mengapa di usia segini ada yang sudah bisa begini
tapi ada juga masih begitu?
Menurut
ahlinya, 90% masalah anak berasal dari dalam rumah, seperti: obsesi orang tua, kecanduan
menggegas, hobi menitipkan anak, dan konflik pribadi kedua orang tua adalah
sebagian dari sumber masalah. Oleh karenanya keberhasilan anak juga sebagian
besarnya tergantung dari dalam rumah.
Remaja, Sudah Baligh tapi Belum Aqil
Ada
anak yang sebenarnya mereka sudah dilatih dan dibiasakan sholat jamaah, doa,
tilawah, tahfizh, tahajjud, belajar, adab dan doa makan, dan sebagainya sejak
SMP, bahkan SD. Tapi anehnya setelah keluar dari boarding, bahkan hingga kuliah pun kebiasaan itu pudar atau hanya
dilakukan ketika mereka dalam pengawasan eksternal. Di situ saya bisa pastikan
bahwa sewaktu mereka masih di boarding
pun, ketika pulang ke rumah, segala rutinitas yang menjadi kewajiban di boarding hanya isapan jempol belaka jika
tanpa intruksi dari orang tua. Dari segi kemandirian dan tanggung jawab, seolah
tidak ada bedanya boarding school setingkat
SD, SMP, atau SMA (yang dihuni oleh remaja masa kini, yang sudah baligh namun
tak kunjung aqil). Kenapa hayoooo?
Ya
itu dia jawabannya, remaja masa kini sudah baligh namun tak kunjung aqil.
Banyak permasalahan remaja yang disebabkan oleh turbulensi alias kesenjangan
antara aqil dan baligh. Padahal, dulu banyak pemuda berumur belasan yang sudah
mampu memegang kendali peradaban. Ah, kejauhan membandingkan era sekarang
dengan generasi emas di era kejayaan Islam. Kalau belum tau apa itu aqil dan baligh,
saya jelaskan sekadarnya saja ya. Karena kalau mau bahasa soal ini bisa jadi
satu tulisan lagi dan panjang.
Baligh
adalah kedewasaan biologis. Pada anak perempuan ditandai dengan menstruasi dan
ditandai mimpi basah pada anak lelaki. Adapun aqil adalah kedewasaan psikologis,
emosional, rasional, sosial, dan finansial. Kalau saya, senang menyebut masa
aqil adalah masa di mana seseorang sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Sekarang pikir sendiri deh tuh, jauh nggak jaraknya baligh sama aqil?
“Penjenjangan
toddlers, kids, teenager, adult yang kemudian menjdi TK, SD, SMP, SMA tidak
pernah dibenarkan secara ilmiyah. Itu hanya pengamatan psikologi barat terhadap
masyarakat mereka. Islam hanya mengenal dua fase, sebelum aqil baligh (anak 0—14)
tahun dan setelah aqil baligh (pemuda >14—15 tahun).”
-
Dr Malik Badri
(pakar psikologi muslim)
Lalu
siapa yang bertugas meng-aqil-kan anak? Orang lain? Tetangga? Teman-temannya?
Gurunya yang dibayar?
Kedewasaan
psikologis, emosional, rasional, sosial, dan finansial tidak bisa tumbuh hanya
dengan menyekolahkan anak di tempat yang bagus yang jauh dari orang tua. Melepas
anak sebelum dia aqil hanya menambah risiko kegagalan mendidik dan kenakalan
remaja. Memang ada yang menitipkan anak ke boarding
school dengan harapan anak mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Tapi
Bapak Ibu harus sadar, pembimbingnya tidak tahu betul bagaimana masa kecilnya,
bagaimana ia dididik, pelajaran apa saja yang telah ia terima, sampai mana
pembentukan adab dan karakternya, di mana bakat dan minatnya, dan yang paling
penting seberapa jauh kelekatannya dengan Pemilik Hati, yang semua itu
tergantung pada didikan Bapak Ibu di usia 0 sampai menginjak baligh 10 tahun. Penciptaan
rahim, sel telur, sperma, dan ASI pastilah ada maksud. Kalau peran orang tua
tidak sebegitu penting, bayi-bayi pasti diturunkan begitu saja dari langit.
Kalau
dianalogikan, mereka adalah berbagai bentuk adonan kue yang sudah jadi, lalu
dipasrahkan pada pembimbing untuk menghias bagian luarnya. Soal rasa, orang
tualah yang meracik, bahkan membentuknya hingga jadi. Ada yang datang dengan
bentuk indah menawan meski rasanya pahit, ada yang datang dengan bentuk aneh,
ada yang rasanya manis, semua itu tidak ada kuasa para pembimbing di boarding untuk mengubah cita rasanya kecuali
sedikit atau banyak atas izin Allah beserta keajaiban-Nya, doa orang tua, serta
guru-gurunya.
Belum
lagi kalau terpapar dengan sesamanya yang juga baligh namun tak kunjung aqil. Katanya,
setinggi dan sekokoh apapun kita mendirikan benteng untuk menghadang air bah,
maka akan roboh juga. Jadi sebaiknya sebelum dilepas, ajarilah anak untuk
berenang atau membuat perahunya sendiri. Miris deh kalau lihat remaja jaman now.
Sampai
sini, sekarang jadi tau kan mengapa dalam Islam wajib menafaqohi anak itu hanya
sampai mereka baligh? Dulu persepsinya baligh sekaligus aqil. Sekarang beda
lagi, ternyata ada satu fase yang baru muncul di awal abad 20 yaitu remaja,
masa di mana sudah baligh tapi belum aqil. Oleh karena itu, tidak ada patokan
yang jelas untuk usia remaja. Bagi orang tua masa depan yang belum kebacut
melahirkan anak remaja, cukup sudah, kembalikan pemuda sebagai generasi emas,
bukan remaja yang galau akan identitasnya.
Epilog
Kita
tak perlu lagi melampiaskan dendam positif sebagaimana orang tua kita, misalnya
memanjakan anak dengan materi karena kita dulu apa-apa susah. Sudah, sudah
bukan zamannya lagi. Kita bisa lihat anak yang dibesarkan dengan uang tanpa
perhatian seperti apa jadinya. Cukup aqilkan mereka (yang itu pasti tidak
mudah), lekatkan hatinya pada pemilik hati, mendidik sepenuh hati, dan mau
terus belajar. Semoga di masa depan tidak banyak yang latah menitip-nitipkan anak
dengan dalih sibuk bekerja untuk menabung biaya masa depan anak-anak. Kalau
anak sudah aqil, di usia baligh ia tentu mapan pribadi dan finansialnya.
Bukan
berarti juga orang tua over protektif terhadap anak dengan tidak memberinya
kebebasan untuk merasakan dunia luar. Sulit rasanya melahirkan pemimpin yang
solutif jika selalu memberikan lingkungan yang steril dan homogen dengan maksud
meyembunyikan anak dari realitas sosial. Apalagi anak-anak yang belum mantap
dan belum selesai dengan dirinya sendiri. Lain dengan anak yang sudah tuntas
dengan dirinya sendiri, maka tiada yang perlu dikhawatirkan lagi dengannya.
Internet dan gadget baginya hanya alat untuk mengakses banyak pengetahuan yang
relevan untuk inovasi, berdiskusi dengan yang lebih ahli, membangun jaringan
dan berkolaborasi, atau memasarkan
karyanya.
Kalau
sudah mantap jiwanya, selesai dengan dirinya sendiri, maka dengan sendirinya
mereka menjadi seperti ikan yang hidup di laut yang tak pernah asin meskipun
setiap hari berenang di laut. Bukan menjadi seperti ikan mati yang menjadi asin
hanya karena direndam beberapa hari.
NB.
Saya memang belum banyak pengalaman apalagi buku yang saya baca. Akan tetapi,
setiap tempat yang saya tinggali adalah laboratorium nyata untuk dipelajari. Dan
setiap orang di sekitar saya adalah guru. Maka cukup mengambil pelajaran dari
kegagalan orang lain tanpa harus terjerumus ke lubang yang sama terlebih
dahulu.
Tulisan
ini adalah based on true story
pengalaman saya selama menjadi remaja, teman-teman saya, tempat tinggal saya
saat ini, serta masalah anak muda yang tak pernah tuntas menggeroti pikiran
saya: hamil di luar nikah, kelainan seksual, minuman keras dan obat-obatan,
serta adab yang jauh dari kata wajar, baik di desa saya sendiri, maupun di
tempat-tempat lain yang beritanya bisa kita akses setiap hari.
Sudah
banyak pengekor, maka jadilah pelopor. Dari keluarga semua berawal, maka
jauh-jauh hari sebelum menentukan tanggal pernikahan, sampaikan segala cita-citamu,
samakan visi dan misi terhadap ia pasangan hidupmu karena sudah bukan zamannya ngawur memilih pasangan hanya
atas dasar cinta yang tak berdasar, kecuali cinta kepada Allah. Jangan lupakan satu hal, bahwa anak di masa
depan adalah cerminan kita saat ini.
Maafkan
kata-kata yang kuran berkenan.
Comments
Post a Comment