Beberapa
waktu lalu ibu menelepon, (I: Ibu, B: Bapak, S: Sofi)
I:
“Kata Bude, Sofi suruh daftar PNS. Lulusan UGM, cumlaude 3,5 tahun banyak
peluang untuk masuk katanya. Kemarin anaknya temen Bude yang cumlaude ada yang
langsung keterima tanpa tes.”
Saya
menolak dengan halus. Jujur saja pada ibu saya bilang tidak mau jadi PNS,
terikat. Lalu saya kemukakan beberapa alasan, bla bla bla. Kemudian Bapak
meminta hp yang dipegang ibu dan bicara ke saya,
B:
“Kenapa? Disuruh Mamak ikut tes CPNS?”
S:
“Hehe, enggak Pak, saran aja.”
B:
“Kalau hatimu ga pengen, ga usah. Bapak Mamak ga berhak ngatur-ngatur masa
depanmu, karena soal itu besok yang jalani ya kamu sendiri. Kamu yang tau mana
yang terbaik. Bapak Mamak cuma bisa ngasih saran dan nasihat. Rezeki juga
banyak jalan, gak harus jadi PNS.”
I:
“Jadi PNS itu terjamin hidupnya, banyak tunjangannya. Enak lho… Cuma kamu to’
yang gak mau jadi PNS.”
S:
“Enggak kok Mak, temen-temenku ternyata banyak juga yang gak minat.”
I:
“Ya itu orang-orang yang kayak kamu, gak suka diatur-atur.”
S:
“Hahaha, ya aku gapapa kalau suamiku PNS, tapi kalau aku yang PNS aku nggak
mau. Nanti anak-anakku terbengkalai. Kayak Mamak aja lah fokus ngurus anak di rumah
sambil usaha yang bisa disambi.”
I:
“Hha yowes karepmu.”
Bicara
soal nggak suka diatur, kelas 1 SD saya pernah dihajar Bapak karena tidak mau
berangkat TPA akibat pulang dari main
kesiangan. Saya kekeuh tidak mau karena saya malu datang terlambat dan saya
memilih untuk tidak berangkat sekolah.
Sejauh
ingatan saya, orang tua tidak pernah memaksa kecuali satu hal, daftar SBMPTN
yang membuat saya berada di sini dan menemukan banyak hal. Selain itu rasanya
tidak ada. Entah karena saya jadi agak penurut (sepertinya enggak deh), atau
karena mereka melihat track record,
sikap, dan kebiasaan saya.
Tapi
kadang geli sendiri melihat anak-anak yang tidak mau diatur, ingin bebas, padahal
tinggal di lingkungan yang memang dicipta aturan untuk menciptakan sebuah keteraturan.
Anak-anak seperti itu pasti ada di setiap institusi pendidikan: pesantren, boarding
school, bahkan sekolah. Padahal aturan-aturan yang dibuat sudah disesuaikan
dengan kebutuhan dan diciptakan demi kebaikan mereka sendiri nantinya. Kalau semua
sudah berjalan semestinya, peraturan itu tentu tidak perlu ada. Tapi karena
sangat memperihatinkan lah maka peraturan dibuat.
Bagi
saya, kebebasan sih kebebasan asal tidak melepaskan diri dari aturan-Nya.
Selama aturan itu baik, aturan yang menjadikan kita dekat dengan Allah, why
not? Kenapa merasa tidak bebas? Memangnya bebas itu terus nggak beribadah? Kalau
sudah bebas terus mau apa?
“Berhenti
saja sekolah, berhenti kuliah kalau ternyata pendidikan tidak menjadikanmu
kenal dengan Rabb-mu, tidak membuatmu bisa memahami isi Alquran, tidak
menggerakkanmu untuk mendirikan shalat. Berhenti. Fokus belajar membenarkan
shalatmu, bacaan Alquran-mu, tauhidmu, agamamu. Apa gunanya menjadi profesor,
bila makna Al-Fatihah saja tidak tahu. Orang yang shalat, tetapi tidak tahu
makna yang dia baca, itulah shalat orang mabuk”.
-
Ustad Bachtiar Nasir
Comments
Post a Comment