“Tak peduli sudah
berapa banyak usiaku, kau tetap orang pertama yang kuingat ketika aku
menangis.”
1 missed
call, darimu. Hal yang tak biasa, bahkan tak pernah kau menelepon tiba-tiba.
Selalu sms lebih dulu. Tanpa berpikir macam-macam, aku sms: “Aku sedang di
kampus, Bu”
”Bukannya libur?”
“Besok liburnya, besok aku telepon, insya Allah, Bu”.
Sesaat kemudian aku bertanya-tanya, mengapa
tiba-tiba Ibu telepon? Sepeka itukah naluri seorang ibu? Aku di ujung Jawa
bagian selatan, kau di ujung Jawa bagian utara, tapi kau yang lebih dulu tau
keadaanku sebelum semuanya tau.
Ibu, aku ingin cerita banyak hal... Aku ingin menangis di pelukanmu, Ibu. Aku terlalu asyik dengan dunia baruku di
sini. Aku punya banyak teman berbagi, aku punya banyak teman diskusi, dan aku
mendapat banyak semangat untuk mengejar duniaku di sini, seluruh sudut tempat
ini, selain masjidnya tentu saja. Aku hanya ingat engkau ketika aku sakit dan
sedih. Aku ingat engkau Bu, ketika air mata sudah tak lagi bisa dibendung.
Ibu, aku rindu ketenangan. Aku selalu butuh waktu untuk menjalankan "tugas itu". Aku sering membayangkan bagaimana kalau aku belajar di tempat orang-orang yang sepaham, seideologi, sepemikiran, sekultur, kalau bisa "setugas" denganku hingga tak perlu ada toleransi dan tak perlu menjelaskan pada banyak orang bahwa kehidupanku begini dan begitu, karena semuanya sudah paham dan mengerti. Karena seberapa pun kebaikan mereka, seberapa pun toleransi mereka, tetap ada hal yang tak kan bisa mereka pahami dariku. Aku yang salah karena aku adalah anak biasa yang selalu minta diperlakukan istimewa.
Aku lelah... aku salah...
Lihatlah Bu, betapa anakmu pandai mengeluh...
Aku lelah... aku salah...
Lihatlah Bu, betapa anakmu pandai mengeluh...
#Malam ini, aku tak
ingin melakukan apapun. Aku hanya ingin segera pagi. Aku ingin segera mendengar
suaramu di ujung sana.
Comments
Post a Comment