Kuhitung-hitung,
sudah cukup lama ternyata kita berlari bersama. Berbagi apapun yang kita temui
di medan juang masing-masing. Medan yang berbeda, walau pada hakikatnya aku
selalu percaya bahwa kita lari sama-sama.
Ingat
tidak? Kita pernah menikmati pantai bersama, menyusuri sungai yang panjang
sama-sama, melewati jalan menanjak dan berliku sama-sama. Seharusnya sejauh itu
pula aku bisa memahamimu. Tapi nyatanya aku masih terbata-bata membacamu. Dan
aku selalu egois, menghujani dirimu dengan kata-kata seenak perutku,
memojokkanmu, menanyaimu macam-macam hingga puas batinku.
Kau tau, di saat itu sebenarnya aku
tengah memarahi diri sendiri yang ternyata serapuh daun kering yang siap terbakar
matahari. Pada akhirnya aku hanya meminta maaf dengan kata-kata yang tak pernah
bisa aku ucapkan: “Maaf aku terlalu menyayangimu, hingga seperti ini.” Tapi
bukan itu yang keluar di lisan ataupun tulisan. Aku hanya meminta maaf
sewajarnya. Seolah baru saja menumpahkan es krim di bajumu.
Untuk kau teman berlari, terima
kasih sudah selalu sabar mengiringi. Kahadiranmu, sejak pertama hingga saat ini
adalah keajaiban bagiku.
Comments
Post a Comment