Gambarnya ga terlalu nyambung sih. |
Untuk mengubah suatu tradisi pasti membutuhkan proses
yang sangat panjang dan lama, tidak bisa langsung cling “avra kadavra”. Nabi Muhammad misalnya yang salah satu misinya
adalah menghapus tradisi perbudakan. Beliau sempat memiliki budak kira-kira
sebanyak 70 orang. Utsman bin Affan memiliki budak sebanyak 1000 orang. Bahkan
setelah Nabi wafat, perbudakan masih menjamur, hanya saja perlahan mulai
bergeser fungsi dan derajatnya. Budak-budak bukan lagi orang yang lemah dan tak
punya pilihan. Mereka justru direkrut, diseleksi, dan digodok dalam berbagai
aspek kehidupan sebelum terjun ke bidang masing-masing. Bahkan di zaman pertengahan, budak
bisa menjadi seorang negarawan. Salah satu contoh yang cukup dikenal dalam hal
itu adalah Sultan Mamluk, Al-Mansur Qalawun Al-Alfi (1280-1290 M). Nama
terakhirnya didapat karena ia dulunya dibeli seharga 1000 dinar. Ratusan tahun
berlalu, dengan proses yang panjang barulah sistem perbudakan secara de jure benar-benar terhapus. Ya
meskipun de facto kita masih sering
menemuinya dalam bentuk yang semisal.
Sebenarnya yang membuat perubahan menjadi sangat lama
bukan hanya proses a menjadi b atau b menjadi a saja, melainkan bisa atau tidak
lingkungan menerima perubahan tersebut. Perubahan bisa saja berlangsung cepat,
tetapi lingkungan butuh menyesuaikan lebih lama. Perubahan bisa saja
berlangsung cepat, asalkan subjek perubahan mampu menerima perubahan tersebut.
Jauh sebelum kedatangan Belanda, nusantara (khususnya
Jawa) diperintah oleh kerajaan-kerajaan. Kemudian Belanda datang mengambil alih
kekuasaan, baik segi pemerintahan maupun alat-alat produksi. Singkatnya setelah
alat-alat produksi dikuasi, kerajaan perlahan mulai hancur dan para bangsawan
tidak lagi memiliki alasan untuk menguasai orang lain atau alasan kebanggan
mengapa orang harus bersikap hormat kepada mereka. Sejak saat itu,
kebangsawanan (keningratan) mulai beralih ke hal-hal yang bersifat non-material
demi mempertahankan loyalitas kaum bawah kepada mereka.
Clifford Geertz pernah membuat penelitian mengenai
tipe-tipe budaya masyarakat Jawa yang telah dibukukan berjudul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa. Secara logis atau epistemologis, klasifikasi abangan-santri-priyayi
Geertz bisa salah, tetapi secara empirik bisa benar. Islam di pedesaan tidak
sekadar kategori ideologis keagamaan tetapi juga kategori sosial. Islam di
pedesaan membangun sistem klasifikasi dan stratifikasi sosial tersendiri.
Santri adalah kelompok sosial yang loyalitasnya diberikan kepada kiyai, abangan
adalah kelompok sosial yang loyalitasnya diberikan kepada priyayi.
Baik kiyai maupun priyayi adalah dua kelompok yang
memiliki potensi untuk mendapatkan loyalitas dari abangan atau santri. Tapi
dalam beberapa kasus, keduanya tidak dapat dipisahkan: kyai adalah priyayi dan priyayi
adalah kiyai. Priyayi berjiwa kiyai tidak salah, yang salah adalah kiyai yang
berjiwa priyayi. Hal ini menyebabkan –maaf- semakin tereksploitasinya kelompok
masyarakat di luar dua golongan tersebut. Golongan santri yang mulanya berniat
mengabdi dan mencari berkah kepada kiyainya justru jatuh ke tangan priyayi,
dimanfaatkan dan dieksploitasi untuk memperkecil pengeluaran beban biaya gaji
untuk membayar karyawan dalam suatu usahanya. Terkadang bukan sang kiyai yang berjiwa priyayi,
melainkan isteri atau anak-anaknya karena dididik oleh feodalisme yang kental sehingga merasa berhak mengeksploitasi orang lain demi kepentingan pribadinya.
Tentu hal ini tidak berlaku secara umum. Kiyai yang berjiwa kiyai pasti sadar bahwa Islam itu agama yang egaliter. Setiap manusia memiliki derajat yang sama, tidak digolongkan berdasarkan harta maupun nasab (keturunan). Yang membedakan adalah derajatnya di sisi Tuhan dan tidak ada yang berhak menghakiminya.
Tentu hal ini tidak berlaku secara umum. Kiyai yang berjiwa kiyai pasti sadar bahwa Islam itu agama yang egaliter. Setiap manusia memiliki derajat yang sama, tidak digolongkan berdasarkan harta maupun nasab (keturunan). Yang membedakan adalah derajatnya di sisi Tuhan dan tidak ada yang berhak menghakiminya.
Kembali ke perubahan. Para priyayi yang dulu
disembah-sembah perlahan tak lagi dihormati. Bagi
kita, hal itu bagus. Tapi bagi mereka hal itu tentu sangat menyedihkan. Namun, para priyayi tak
bisa memaksakan hal yang lama terus terjadi. Karena zaman berevolusi dan mereka
harus beradaptasi; dengan membayar sebuah ongkos bernama jati diri. Sikap memanfaatkan loyalitas orang lain justru
dianggap keningrat-ningratan (karena tidak enak menggunakan kata
“kepriyayi-priyayian”). Kalau hendak memperkerjakan orang lain, berilah upah yang sepadan. Kalau hendak minta
tolong, mintalah dengan baik dan sopan bukan dengan nada merendahkan apalagi memaksa dann menyalahkan. Kalau bisa dikerjakan sendiri, mengapa harus orang lain?
Sebagai penutup, saya tambahkan rutukan saya yang
diketik di dapur ketika sedang goreng tahu tepat dua bulan yang lalu (15 Maret 2016).
“Setinggi apapun kedudukanmu di mata manusia, apalagi
menurut persepsimu sendiri, kamu tidak bisa terus-terusan bergantung pada orang
lain untuk melayanimu. Memaksa mereka menghabiskan waktunya untukmu dan
menyedot energi mereka bukan dalam rangka mempekerjakan.
Hati-hati dengan sikap depotismu. Di luar sana, ketika
kamu keluar dari wilayah teritorial kekuasaanmu atau orang tuamu, kamu tidak
akan bisa hidup kecuali dengan menangis meratapi nasib dan waktu. Di luar sana,
orang-orang beda idealisme denganmu. Mereka
tidak mau membantumu bukan karena kurang ajar (di mata ningratmu). Tetapi
karena bagi mereka: membantu itu orang yang tidak mampu, bukan orang yang malas
dan tidak mau.”
Tanpa
mengurangi rasa hormat, izinkanlah saya menulis hal ini dalam rangka memenuhi
hak pikiran dan hati nurani saya untuk disuarakan. Adapun bagi yang tidak
setuju, tidak saya wajibkan membaca tulisan ini. Bacalah dengan hati dan kepala
yang dingin. Kalau menganggap saya salah pengertian, sila kritik saya dan beri saya
pemahaman yang logis, realistis, dan manusiawi, bukan alasan heroik, blunder,
dan pasaran.
Pemancingan Moro Kangen, Minggu 15 Mei 2016
Pemancingan Moro Kangen, Minggu 15 Mei 2016
Comments
Post a Comment