Kalau
menurut saya, “Mencari orang untuk dijadikan pacar itu mudah, mencari orang
untuk dijadikan suami yang sulit.” Hal ini terbukti dari survey saya terhadap
teman-teman saya yang memiliki pacar. Kebanyakan dari mereka tidak ingin kalau
pacar mereka saat ini yang akan menjadi suami mereka kelak. Bukan hanya itu, sungguh,
kalau saya mau saya bisa berkali-kali punya pacar atau mantan dan saat ini saya
pasti tidak jomblo. Banyak sekali saya temui orang yang di pikiran saya ‘bolehlah
orang ini kalau untuk sekarang, tapi untuk masa depan, tidak deh’. Sekalinya
ada yang dirasa cocok untuk masa depan, sayanya yang di bawah standar dia. Kan
sulit kan?
Dulu
kelas 5 SD saya berjanji tidak akan pacaran sebelum usia 17 tahun. Dan sekarang
saya sudah 21 tahun. Saya tidak mau mengambil keputusan untuk menjadi pacar
seseorang atau menjadikan orang sebagai pacar saya. Setelah dipikir-pikir, juga
lagi-lagi berdasarkan pengamatan terhadap orang-orang di sekeliling saya, status
semacam itu akan menjadikan seseorang merasa memiliki seseorang yang lain.
Ketika seseorang sudah merasa memiliki seseorang lain, yang terjadi pasti:
kecemburuan satu sama lain yang berakibat sebuah pengekangan dan keterbatasan
ruang gerak; interaksi fisik di luar batas karena merasa memiliki (kadang tidak
saling memiliki saja berani macam-macam, apalagi kalau sudah merasa memiliki?);
suasana hati yang dapat mengganggu aktivitas dan produktivitas; dan pengorbanan
waktu demi membahagiakan satu sama lain yang kadang keterlaluan. Saya hanya tidak ingin terikat, karena saya tidak suka diatur-atur apalagi oleh orang yang tidak berkontribusi apapun dalam hidup saya. Ini baru yang
murni dari dalam diri saya, belum dari segi agama, belum dari segi pertemanan,
belum larangan dari orang tua, belum dari segi ekonomi.
Saya tidak bilang saya tidak pernah menyukai orang lain, dekat dengan
oranng lain, cemburu, galau, patah hati, sakit hati , dan lain sebagainya ya. Saya mengalaminya karena saya normal. Hanya manusia yang hatinya
sekeras batu yang tak pernah merasakan jatuh cinta. Saya berusaha sebiasa
mungkin ketika saya menyukai orang lan. Sekalipun orang yang saya sukai telah
terang-terangan mengatakan bahwa dia menyukai saya, saya biasanya hanya
mengatakan, “Ya udah. Jalani aja.” Saya bilang jalani saja karena siapa tahu di
tengah jalan jatuh cinta lagi dengan orang lain yang lebih baik. Siapa tahu di
tengah jalan nanti bertemu jodohnya. Entah dia, entah saya. Makanya saya tidak
mau terikat. Kalau tidak terikat kan tidak ada istilah pengkhianatan,
perselingkuhan, atau penikungan. Kita tidak berhak marah-marah karena bukan
siapa-siapanya.
Dia
tidak perlu tahu perasaan saya, buat apa? Itu privasi saya. Sedekat-dekatnya
saya dengan laki-laki, hanya sebatas teman. Maka nanti seiring berjalannya
waktu, terlihat sendiri tingkat keseriusan dia. Kalau dia tiba-tiba jadian
dengan yang lain (seringnya sih gini), ya sudah, ikhlaskan, berarti dia tidak
benar-benar menyukai saya. Wajar sih. Siapa pulak yang mau digantungkan tanpa
diberi harapan, tanpa diberi kepastian pula. Ya masa saya mendahului takdir
Tuhan saya sebelum waktunya? Memaksa orang untuk berkomitmen padahal belum mau
menikah adalah sebuah bentuk ketidakyakinan terhadap kepastian Allah. 40.000
tahun yang lalu kan sudah dipastikan soal jodoh, maut, rizki, bahagia atau
celaka. Sesuatu yang sudah pasti mengapa masih diperjuangkan? Bisa jadi
jodohnya bukan orang yang diajak komitmen ya kan.
Saya
mudah kagum dengan orang lain, mudah jatuh hati, dan alhamdulillahnya sangat
mudah move on. Kagum itu sebatas
terpesona dengan apa yang dia miliki, belum terlintas pikiran untuk ingin
menjadi isterinya kelak (karena sadar diri ini hanya apa atuh, kwkwk). Jatuh hati
itu sinonimnya suka, ini berawal dari rasa kagum. Saya sering jatuh hati. Dan jatuh
cinta berawal dari jatuh hati. Nah dari sini baru muncul rasa ingin menjadi
isterinya kelak. Ini opini pribadi saya loh, jangan asal percaya.
Boleh
lah orang itu memilih perempuan lain yang bisa diajak pacaran. Saya mungkin
patah hati sedikit, banyak kecewanya. Kecewa karena eman-eman sekali dia tidak
bisa sabar sebentar, paling lama 3 tahun lagi lamar aku kenapa. Hahaha, becanda. Maksud saya, mengapa dia begitu
mudah berganti hati. Sendiri kan lebih baik sampai waktu dan takdir
dipertemukan. Terpukul, berubah mood,
saya pastikan saya mengalami itu barang setengah hari. Besoknya balik lagi. Toh
saya tidak kehilangan apapun dari dia. Di luar sana saya yakin masih banyak yang
mau menjadi pasangan hidup saya (mindset
biar gampang move on). E tapi serius
loh.
STMJ (Semester Tujuh Masih Jomblo)
Dulu
waktu masih duduk di bangku MA, saya mentarget akan mencari pasangan hidup di
semester tujuh. Kalau hanya sekadar mencari, saya sudah. Hanya saja belum
menemukan yang pas di hati. Kembali lagi seperti: kalau untuk sekarang boleh
lah, tapi untuk masa depan tidak. Kecuali kalau sekarang mau berusaha
memantaskan diri untuk masa depan. Karena setiap perempuan pasti akan luluh
dengan orang yang mau berjuang, apalagi memperjuangkannya.
Tapi
kalau membahas soal perjuangan kok jadi kontra ya dengan pernyataan di atas
bahwa jodoh itu hal yang sudah pasti, tidak perlu diperjuangkan. Em, referensi
perjuangannya beda nih. ‘Tidak perlu diperjuangkan’ yang atas maksudnya adalah
dikejar-kejar terus, diteror, kalau perlu diancam orangnya bahkan orang tuanya
sampai orang itu mau berjanji untuk hanya dekat dengan dia saja, hanya menikah
dengan dia saja, meski realisasinnya entah beberapa tahun lagi. Intinya sudah
dicup dari sekarang. Sedangkan perjuangan yang saya harapkan adalah perjuangan
dengan cara menjaga diri dari menjadikan perempuan lain sebagai pelarian
(pacaran), berlomba dalam kebaikan, dan kalau kirim-kirim doa, sholawat, atau
fatihah boleh lah. Saya juga sering kok, tiap hari malah. Ea.
Pasangan Hidup Saya
Yang
pasti dia luar biasa, sabar, penyayang, bukan orang yang malas, mengajak dan
mudah diajak untuk kebaikan, dan paling penting dia mengajak saya untuk
berjalan di sampingnya bukan di belakangnya (kecuali pas sholat, sholat kan gak
jalan btw). Dia yang menganggap saya sebagai partner, bukan boneka atau barang
apalagi pembantu yang derajatnya jauh di bawahnya. Dia yang bisa diajak dan mau
mengajak bertukar pikiran. Dia yang mau diajak sama-sama meraih mimpi,
berkeliling dunia, menebar manfaat, dan mencari ilmu.
Dia
yang memiliki adab tata krama yang baik, seperti: terbiasa memberikan sesuatu
kepada seseorang bukan dengan cara dilempar, masuk kamar mandi dengan kaki
kiri, masuk masjid dengan kaki kanan, makan dan minum tidak dengan berdiri,
terbiasa menerima dan memberi sesuatu dengan tangan kanan bukan tangan kiri,
dan yang jelas tidak memperlakukan orang lain sebagai yang lebih rendah
darinya. Ini mungkin sepele, tapi di mata saya ini wajib dimiliki oleh calon
ayah dari calon anak-anak saya. Saya paling risih diperlakukan seperti itu
karena orang tua mendidik saya keras untuk tidak melakukan hal-hal di atas.
Siapa
pu dia, boleh lah dia seorang arsitek, boleh lah dia dokter hewan, boleh lah
dia aktivis, apa saja asalkan bisa menjadi imam sholat, bisa mengaji, dan
berjiwa sosial. Tidak perlu kyai, tidak perlu ustadz, tidak perlu anak kyai,
tidak perlu anak bangsawan kalau hanya gila hormat. Asalkan dia senang belajar
mengamalkan agama dan menghargai orang lain, saya berjanji akan sepenuh hati
berusaha ciptakan surga di rumahnya. Insya Allah, aamiin.
Proposal
ini Ya Allah, kabulkan. Aamiin…
Doa
Catatan Semester Tujuh
Ya Allah, lancarkanlah tugas akhir
S1 hamba juga teman-teman hamba. Beri nilai yang baik dan jadikan ini jalan yang baik
untuk jenjang berikutnya. Kabulkan harapan hamba ingin terus mencicipi ilmu-Mu.
Kalau Engkau tidak keberatan, hamba ingin membaca puisi di bawah menara Eiffel.
Lancarkanlah jalan untuk masa
depan hamba, bahagiakan orang tua hamba, selalu berikan mereka kesabaran dan
kebanggaan atas putri sulungnya. Jadikan hamba anak yang tahu diuntung.
Terakhir Ya Allah, selalu
tempatkan hamba bersama orang-orang yang sholih agar senakal-nakalnya hamba
selalu ada yang menggiring untuk kembali.
Comments
Post a Comment