Sedih itu ketika...
Setengah
mati kamu menahan hasratmu untuk tidak ikut-ikutan yang lain, tetap menjaga status lajang, berusaha tegar
menghadapi semua persoalan seorang diri, berusaha agar tidak berkeluh kesah
karena butuh perhatian dari lawan jenis, dan berpura-pura mengabaikan
orang-orang yang semestinya kamu sayang dan kamu doakan tiap malam. Tidak lain
adalah karena kamu ingat kedudukanmu sebagai seorang kakak dengan dua adik
kandung dan banyak sekali adik yang bukan kandung. Adalah karena kamu tidak
ingin adik-adikmu membangkang orang tua untuk tidak pacaran dengan alasan
kakaknya juga begitu. Adalah karena kamu ingat, ada orang-orang yang
menjadikanmu sebagai role model entah
seberapa pun itu. Adalah karena ada guru-guru yang selalu menyanjungmu berbeda
dengan yang lain. Adalah karena ada banyak nama baik yang harus kau jaga. Adalah
karena kamu lebih tua, dan yang muda selalu ingin meniru yang lebih tua.
Tapi
di sisi lain, orang-orang yang seharusnya lebih bertanggung jawab untuk menjaga
adik-adiknya apalagi yang sedang menempuh pndidikan agama agar tidak terjerumus, justru dengan seenak hati mencoba
mendekatkan mereka agar saling berpasangan. Membantu satu pihak untuk
mendekatkan pihak lain. Menjodoh-jodohkan satu anak dengan yang lain. Membuat
pertemuan agar mereka saling jadian.
Buat
belajar, kata mereka. Memanglah pelajaran paling berharga adalah kesalahan yang
telah lewat. Tapi memberi pelajaran kepada adik sendiri atau bahkan anak orang
lain, apa harus membuat mereka tersandung kesalahan terlebih dahulu? Membuat
mereka terjerumus dosa terlebih dahulu? Mencintai
itu tidak dosa, katamu. Mencintai memang tidak dosa, tapi caramu
memasangkan mereka, membuat pertemuan untuk mereka, menjodohkan mereka, adalah
seperti bisikan lembut setan di telinga kanan, masuk ke dalam hati.
Comments
Post a Comment