Seandainya kekerasan dalam segi hukum tidak hanya
dinilai dari bukti fisik, tetapi psikis, pastilah orang-orang paham bahwa
sebagian besar mereka yang bunuh diri itu sejatinya hanyalah korban pembunuhan.
Fisik bisa diperban, tampak oleh mata. Namun, bagaimana dengan hati yang
tersayat, jantung yang tak sudi lagi difungsikan, apalagi darah yang tak sampai
teraliri ke otak. Berhenti pada satu titik, lalu tersumbat. Setiap detik
menekan syaraf lainnya. Menggelapkan pandangan. Mengaburkan kewarasan.
Perut
apabila mendapat tekanan dari ujung pisau, maka semburat darah segar
berhamburan keluar. Akibat apa? Ada tekanan.
Leher
apabila tertekan oleh seikat tali bersimpul yang tergantung, maka menghambat
jalur pernapasan, sesak, pengap, menghentikan pompa jantung. Akibat apa? Ada
tekanan.
Dalam
hukum, seseorang yang mengetahui adanya tindak kekerasan, tetapi ia justru
mendiamkan, membiarkan, seolah mengizinkan kezaliman itu terus menyiksa korban,
pastilah ia juga bisa dijerat pasal. Layaknya seorang yang mendiamkan koruptor,
memfasilitasi koruptor, atau mendapat jatah dari hasil kelicikan koruptor,
mereka jua akan mendapat pasal terkait korupsi. Lantas, pernahkah orang-orang
berpikir bagaimana kerabat pelaku bunuh diri yang mengabaikan dan tak peduli
saat perasaan orang yang disayangnya tertekan, selalu memakan kutukan demi
kutukan. Terhempas pada dinding abstrak yang tak tampak, kemudian terlindas
roda kehidupan. Bukan deras tangis terhentikan, tetapi biasanya orang
terdekatlah pelaku sesungguhnya.
Bagaimana
psikis seseorang? Kemarin bisa saja percaya dirinya teguh, kuat, tetapi
bagaimana kalau di suatu menit saat kekecewaan demi kekecewaan terlalu
mengenaskan lebur bersama kecaman yang terus menekan, ditambah orang terdekat
bukan menguatkan, melainkan meludahi sindiran yang bertumpuk setiap harinya,
lalu dalam menit itu jualah ia mendambakan ketenangan yang disalah-artikan,
lantas semudah itukah ia disalahkan telah melukai dirinya sendiri? Siapa yang
sejatinya melukai? Dan siapa yang sejatinya bertahan di atas luka yang mungkin
saja sudah mengoyak-menganga? Siapa pelaku dan siapa korban?
Namanya
manusia pasti ada masa ia lelah dalam benteng pertahanan, ditambah
ketidak-pedulian orang sekitar. Sampai kapan ia dibiarkan melawan tekanan demi
tekanan itu sendirian? Jika kekhilafan itu mendominasi, lantas apakah hanya
dirinya yang patut disalahkan?
Hidup itu dua kali (di dunia dan akhirat), tetapi mati hanya sekali (pemisah
dunia dengan akhiratmu). Hidup yang salah masih bisa diperbaiki, tetapi
cara mati yang salah akan membinasakanmu selamanya.
Tuhan, kuatkan...
Comments
Post a Comment