Hari ini jadi operasi. Alhamdulillah si Yusuf mau dimajuin jam belajarnya yang sebelumnya pkl 10.00 jadi 7.30 WIB. Dag dig dug der rasanya antara penasaran dan takut. Penasaran karena ini pertama kalinya saya akan menjalani pembedahan, takut karena… ya sama sih karena ini pertama kali saya akan menjalani pembedahan. Apalagi pembedahannya pas di bawah mata.
Saran
dari Fatna, ke RS jangan sendirian apalagi mau operasi (ya biar ga keliatan
jomblo banget lah). Untung ada Yenni
yang bersedia menemani prosesi menegangkan itu. Maka setelah selesai ngeles
tanpa basa-basi kujemput Yenni di kos dan berangkat ke bakal TKP. Ternyata
panjang urusannya karena baru pertama kali ke RSA UGM.
Beruntung
sekali hari itu dokter bedah selo, sepertinya saya pasien paling awal yang akan
menjalani operasi kecil. Ohya, ralat ya yang kemarin buka Suprema, tapi
Fibroma. Dokter berulang-ulang menanyakan keputusan saya apakah siap dioperasi
atau tidak. Saran beliau tentu saja dioperasi. Yang membuat dokter menyuruh
saya memikirkan ulang adalah karena saya beberapa kali menanyakan pertanyaan
sejenis, “Kalau dioperasi, nanti dijahit Dok?”, “Nanti ada bekasnya ga ya,
Dok?”, “Bisa hilang kan, Dok, bekasnya?”, “Bekasnya itu benjolan atau cuma bekas
aja?”. Ya, sejenis itu-itu pertanyaannya. Kalau pertanyaannya berselang dan
beruntun seperti itu, berarti bisa mengira-ngira kan apa jawaban dokternya? Dan
sekali lagi dokter bilang, “Ayo dipikirkan dulu jadi operasi nggak?”
Ada Wifi di RS
Sambil
menunggu panggilan, sementara dokter dan perawat-perawatnya melakukan
persiapan, saya dan Yenni asik internetan gratis. Haha, koneksi kencang sekali
bro. Dia iseng-iseng searching apa itu Fibroma. Sebelum ini di otakku fibroma
itu tulisannya menggunakan “v”, bukan “f”. Di google, tidak ada fibroma dengan
huruf “v” dan saya ngeyel karena fibroma di situ tertulis sebuah tumor jinak
yang berasal dari jaringan ikat. “Ah nggak mungkin. Aku nggak mau tumor, aku
nggak mau pake f, pake v kok!” “Tapi di sini ga ada yang pake v Sof. Penyakit
kok nawar sih?” Iya sih? Hoooo.
10.40, Sakral Moment
Tidak ada hal yang menakutkan kalau kita tidak takut.
Termasuk takut kehilangan kecantikan. Di
ruang tindakan, sudah menunggu dokter bedah dan tadinya dua perawat lalu
menjadi tiga perawat. Dokter bilang,
“Sana izin pacarnya dulu kalau wajahnya mau dibedah biar besok ga kaget…” Yah dokter, kan jadi baper. Saya langsung membayangkan diri saya sedang bertanya ke
seseorang yang hanya terlihat punggunya, “Kalau
aku tidak cantik lagi, masihkah kamu mencintaiku?”
Halah
banyak berkhayal! Kenyataannya tidak ada yang bisa saya tanya seperti itu -_-
Seharusnya pertanyaan seperti itu jangan pernah ada dalam suatu hubungan. Sifat-sifat
artifisial seperti itu tidak boleh dijadikan alasan utama dalam suatu hubungan. Kalau jadi unsur pendukung dalam menentukan pilihan boleh lah, manusiawi, tapi jangan
sekali-kali diutamakan. Cerita apa sih? Balik!
Tahap
pertama bius lokal. Kata dokter, sesakit apapun nanti, tetap pejamkan
mata dan jangan bergerak karena bedah di bagian wajah itu lebih rumit daripada
bagian ekstrim yang lain. Kejadian! Baru disuntik saja suakit (katanya itu tahap paling menyakitkan). Setelah kebas, baru proses dimulai. Padahal sudah disuruh merem sejak sebelum disuntik sambil wajah ditutup kain
atau kertas khusus yang biasa dipakai dalam proses pembedahan.
Dokter banyak menyebut bismillah, meminta saya untuk tidak bergerak dan sabar, serta banyak mengintruksikan
sesuatu kepada asisten-asistennya.
Memang tidak terlalu perih, tapi saya tau saat itu bagian bawah mata kiri saya
sedang disayat-sayat untuk mengeluarkan sesuatu dari sana. Hanya sholawat dan
khayalan yang indah-indah upaya yang saya coba untuk mengalihkan pikiran saya agar tidak membayangkan
apa yang sedang terjadi di atas wajah saya. Selain sudah terbuki kehebatan sholawat, saya juga tidak ada bayangan mau dilarikan ke mana pikirannya. Takutnya malah yang enggak-enggak nanti. Haha. Hingga sekitar tiga puluh menit
atau hampir sejam proses itu selesai.
Benjolan
itu keluar dan diperlihatkan pada saya. Ukurannya jauh dari yang saya
bayangkan. Bentuknya lonjong dan lebarnya seperti kelereng. Padahal tadinya
kupikir itu hanya kecil seujung kuku ternyata berlipat-lipat dia. Apa-apaan itu
bisa-bisanya dia bersemayam dalam wajah inih?
Desmoid Fibroma
Ternyata
memang tumor. Dokter satu kali keceplosan ketika melakukan operasi tadi.
Mengapa saya bisa menyimpulkan itu tumor? Karena tertulis di rincian biaya, “eksisi tumor kecil”. Untung kecil, coba
kalau besar? Ngeri. Untung di wajah, jadi saya peka dan gercep. Karena kalau
bukan di wajah, saya tidak yakin akan segercep ini. Kasusnya akan sama seperti
di kaki kemarin, terbengkalai sampai benar-benar parah.
Desmoid fibroma
adalah tumor jinak yang berasal dari jaringan ikat. Tumor ini dapat menjangkiti
manusia tanpa mengenal usia dan tumbuh di berbagai tempat dalam tubuh. Biasanya
di jaringan ikat yang melapisi serabut saraf, jaringan ikat pada otot, periost
tulang, serta jaringan ikat di bawah kulit. Desmoid
fibroma dapat menjadi tumor yang ganas. Salah satu cara penyembuhannya
adalah eksisi yang memadai karena tumor ini secara persisten selalu tumbuh di
tempat yang sama. Oleh karena itu harus diangkat beserta simpainya agar tidak
tumbuh lagi.
Praktik Fiqih Subbab Muzzah Part 2
Sewaktu
konsultasi di awal masuk RS tadi, saya sempat bertanya ke dokter, kira-kira
luka bekas operasi sembuh kapan dan diperban sampai kapan? Jawab dokter, kalau
lukanya lebar dibungkus, kalau kecil tidak perlu dibungkus. Untuk cari aman
saya tetap wudhu. Eeeeh dokternya yang bedah laki-laki, salah satu asistennya
laki-laki. Persentuhan kulit tak bisa dihindari karena sewaktu memeriksa ulang
dan persiapan bagian mana yang akan dibedah, meskipun di ruang tindakan mereka
belum memakai sarung tangan. Alhasil: batal -_-
Kata
dokter tidak perlu ditutup tidak apa-apa, tapi tetap tidak boleh kena air, dan
tadi bagian lukanya masih keluar darah. Ngeri ah. Saya minta ditutup saja. Buat
apa terbuka kalau tidak boleh kena air? Buat apa punya tulang kalau tidak ada
punggungnya? Buat apa punya rusuk tapi gak ada yang nyari? Eeeeeeeeh apadeh~
Perban
boleh diganti tapi jangan kena air selama tiga hari. Maka disimpulkan, saya
akan qodlo’ sholat 34 rokaat lagi persis seperti kemarin, Jum’at
siag-Sabtu-Minggu pagi~
Epilog
Operasi
itu tidak sakit, kan sudah dibius. Setelah efek biusnya hilang, baru deh terasa
itu kenyut-kenyut nyeri subhanallahil
a’dziiim. Proses operasinya sebentar, antre ambil obatnya yang lama.
Maklumlah RSA UGM hanya buka sampai pkl 12.00 dan kebetulan tadi hari Jum’at
juga. Kami baru beranjak dari RS pkl 13.30 WIB.
Terima
kasih Ya Allah telah memberi hamba kesempatan untuk merasakan bagaimana rasanya
operasi. Semoga ini epilog dari tragedi di bulan April. Hamba berharap
kejutan-Mu dalam bentuk lain, Ya Allah… bentuk menyenangkan, selain untuk
diriku tapi juga untuk orang lain, aamiin.
NB.
Tumor itu tidak selamanya mengerikan. Semua benjolan atau pembengkakan yang
abnnormal pada tubuh kita bisa disebut tumor, tanpa membedakan apakah jinak
atau ganas. Tetapi secara awam, tumor berarti pertumbuhan sel-sel yang bersifat
jinak. Dan tentu lebih baiknya dieksisi atau diangkat sedini mungkin sebeum
sel-sel itu berubah menjadi ganas.
Kalau
di tulisan kemarin saya bilang ini bermula dari jerawat yang dipencet,
sepertinya saya keliru. Memang itu seperti jerawat batu, tapi di bawah kulit
ada benjolan yang agak besar, makanya tak henti-henti saya pencet-pencet karena
penasaran. Nah, jadi ketahuan kalau benjolan di situ itu ternyata bibit tumor.
Saran: seharusnya bukan hanya di wajah saja perhatiannya, nanti anggota tubuh
lain cemburu. Gejala sekecil apapun hendaknya dicari tahu dan diobati karena
kalau terlambat, bisa besar sekali selisih waktu dan biaya penyembuhannya.
Comments
Post a Comment