Dari
kemarin-kemarin ingin sekali membuat tulisan tentang Bapak. Apalagi kemarin
teman saya meminta izin hari-hari ini tidak bisa menemani saya karena dia harus
pulang kampung, Bapaknya diopname.
Saya jadi tambah ingat Bapak sekaligus merindukannya. Bahkan semalam sampai
menangis mengingat-ingat segalanya. Eh ternyata ini hari Ayah, 12 November. Pas
lah momennya.
My Little Me
Saya
bersyukur dilahirkan sebagai anak pertama, anak yang menyaksikan sendiri
perjuangan sepasang suami isteri yang baru memulai rumah tangga. Benar-benar
dari nol mereka berjuang karena jauh dari kedua orang tua. Orang tua Bapak di
Demak, orang tua Ibu di Kutoarjo. Setau saya –yang tentu saja juga tau dari
mereka, mereka mengontrak rumah di daerah Ciledug sejak menikah. Bapak
berjualan buah di daerah Blok M, Ibu sesekali membantu di konveksi milik Bude
yang rumahnya tidak jauh dari tempat tinggal kami.
Setahun
lebih sebulan setelah mereka menikah, tepatnya hari Sabtu Wage saat matahari
sedang bersinar cerah, lahir lah saya di sebuah ranjang kamar rumah Mbah di
Demak. Saat itu banyak sekali orang berkumpul di rumah Mbah. Bukan hanya karena
Ibu saya melahirkan, tapi karena Bapak sedang sakit bahkan dikabarkan hampir
meninggal. Satu kamar dipakai untuk ibu saya melahirkan, sebelahnya untuk
orang-orang bergantian membacakan surat Yasin untuk Bapak. Dan setelah saya
lahir, Bapak sehat seperti semula, demikian juga Ibu saya alhamdulillah tidak
mengalami kendala lebih saat dan pasca saya lahir.
Usia
40 hari saya dibawa naik bus ke Jakarta dan mulai saat itu saya dinyatakan
tinggal di sana. Saya tidak terlalu ingat apa saja yang saya lakukan ketika
masih bayi. Seingat saya, saya lebih sering dibawa pulang kampung ke Demak
daripada ke Kutoarjo. Kata ibu saya, ndelalah
pada masa saya bayi hanya saya yang masih bayi, eleeeh. Maksud saya ibu-ibu
tidak melahirkan pada masa yang berdekatan sehingga hanya satu-satunya yang
ditimang-timang, diajak main –lebih tepatnya dibuat mainan, dibawa ke
sana-kemari, dibeliin jajan, hemmm sampai kata ibu saya kalau pulang kampung
Demak, saya jarang di rumah kalau siang. Selain karena tidak banyak bayi atau
balita, katanya saya aktif, imut, dan menggemaskan walaupun tidak gemuk,
Hahaha. Bahasa Melayunya comel. Dan sampai sekarang sebagian besar masih
terekam dalam ingatan siapa saja tetangga-tetangga Mbah yang sering momong
saya. Mereka sebagian besar sudah menikah dan punya anak, sebagian lain masih
bekerja. Semuanya masih saling sapa, kecuali yang masih mas-mas, biasanya kaget
melihat saya sudah sebesar ini.
Kembali
ke Bapak. Dulu katanya ketika masih sangat bayi, Bapak tidak mau menggendong
saya karena Bapak tidak suka mendengar tangisan dan tidak mau diompoli. Saya
tidak ingat masa itu sih, kalau pun benar saya tidak peduli. Kalau lihat
foto-foto balita saya (yang sudah tidak bayi), banyak sekali foto Bapak
menggendong dan mengajak saya main. Bapak saya ganteng, itu kesan pertama saya kalau
melihat foto Bapak. Serius, tidak ada unsur nepotis.
Kenangan Bersama Bapak
Bapak
berjualan setiap hari kecuali hari Minggu. Setelah sholat subuh Bapak sarapan
sambil menyetel kaset-kaset kalau bukan Mayada, Sulis dan Hadad Alwi, atau
Bimboo. Sedangkan menyetel radio adalah rutinitas khusus hari Minggu. Dia
berangkat sebelum saya pergi ke sekolah. Berpamitan di luar, saya dan ibu saya
bergantian mencium tangannya, terakhir Bapak mencium kening ibu lalu kami
dadadada (ya dadadada). Kalau dagangan laris, Bapak pulang sore, tapi kalau
belum habis, Bapak bisa sampai rumah pukul 21.00. Dia tidak pernah pulang
dengan tangan kosong, pasti membawa oleh-oleh entah mainan, entah sisa
dagangan, entah jajanan yang dibeli dari dagangan temannya. Saya dan ibu saya
selalu menyambutnya dengan riang.
Tiap Minggu
Bapak pasti libur. Dan saat libur beliau pasti mengajak saya dan ibu
jalan-jalan, ke kebun binatang Ragunan, Taman Mini, Ancol, atau jalan-jalan di
Mall (sekadar jalan-jalan, bukan belanja). Paling sering kami pergi ke Ragunan,
karena murah. Ibu biasanya membawa bekal dari rumah untuk makan siang di sana
di atas rerumputan. Kalau tidak, kami membeli cakwe di teman-teman bapak,
gulali, atau apa saja yang biasanya ada di pinggir jalan. Kalau tidak ke mana-mana,
Bapak di rumah sejak pagi ngopi, baca koran, nyetel radio seperti biasanya,
kemudian pukul 09.00 berkutat dengan barang-barang elektroniknya. Ada saja yang
dikerjakan, mengotak-atik soundsystem televisi, VCD, dan radionya. Btw,
barang-barang itu sekarang masih berfungsi semua lho, 21 tahun men!
Ketika
masih duduk di bangku TK yang tentu tiap hari Sabtu libur, saya sering diajak
Bapak jualan. Lebih tepatnya bukan diajak, tapi saya yang ingin ikut. Kami
berangkat pagi-pagi setelah sarapan, jalan kaki ke jalan besar, kemudian naik
metromini sampai tempat Bapak menaruh gerobaknya. Kemudian kami berjalan sampai
belakang SMA tempat Bapak berjualan. Bapak pasti bertanya, “Udah capek belum?” Kalau saya capek,
Bapak akan menyuruh saya masuk ke dalam gerobak yang di dalamnya hanya ada
lampu minyak dan senjata tajam, kemudian Bapak mendorongnya. Sambil menunggu
pelanggan yang berhenti naik mobil, Bapak mengajak saya membaca koran atau
mengisi TTS. Kalau sampai saat ini saya hobi baca koran dan mengisi TTS, itu
ketularan Bapak saya. Pulang dari jualan biasanya Bapak mengajak saya ke sebuah
rumah makan yang cukup ramai, lalu membungkus makanan untuk dinikmati
bersama-sama di rumah.
Saya
ingat terakhir kali ikut Bapak jualan. Waktu itu musim hujan. Sebelum Bapak membereskan
sisa dagangan, ada orang teriak-teriak dari jauh. Dia preman ternyata. Bapak
menyuruh saya masuk ke dalam gerobak. Kemudian Bapak bercakap-cakap dengan
orang itu, entah apa yang dibacarakan saya hanya lamat-lamat mendengar. Setelah
orang itu pergi, Bapak mengizinkan saya keluar sebelum akhirnya kami
membereskan dagangan untuk segera pulang ke rumah. Saat itu hujan, Bapak
menyuruh saya masuk dalam gerobak dan ia mendorongnya sambil berlari sampai
tempat gerobak itu diletakkan. Ada orang teriak-teriak lagi di belakang.
Semenjak itu Bapak tidak pernah mengajak saya berjualan lagi. Katanya Bapak
pindah tempat jualan.
Menjadi
anak tunggal Bapak (selama 6 tahun) bukan berarti sangat dimanja dan tidak
pernah dimarahi. Waktu itu pukul 15.00 saatnya mengaji di TPA, tapi saya belum
pulang. Saya masih bermain di kampung sebelah bersama teman-teman saya yang
tidak ikut TPA. Sesampainya di rumah saya diminta tetap berangkat TPA, tapi
saya tidak mau karena saya malu berangkat terlambat. Saking keras kepalanya, saya
dihajar menggunakan ikat pinggang Bapak warna hitam sambil teriak, “Kapok
nggak? Janji nggak besok nggak ngulangi lagi?!”. Dan saya menangis
sekeras-kerasnya. Sepertinya hanya sekali itu saya dihajar. Padahal menurut
saya ada kesalahan yang lebih fatal dari itu. Begini ceritanya…
Waktu
itu di depan pos ronda, terparkir sebuah mobil VW merah hati milik Pak RW.
Saya, Reni, dan Anah (tiga serangkai seumuran, tetangga, se-genk, sekelas di SD
tapi tidak di TPA) sedang bermain di pos ronda. Mulanya kami bermain taplak (geling-geling kalau bahasa Demak)
menggunakan pecahan ubin. Karena bosan, kami berinisiatif menggambar mobil Pak
RW menggunakan pecahan ubin tersebut. Dari depan sampai belakang kami buat
gambar sesuka hati. Ada gambar orang, ada tulisan-tulisan: Anah ‘love’ Dimas,
Sofi ‘love’ Dimas, Reni ‘love’ Dimas, Sofi, Reni, Anah, dll. Btw, Dimas anak
Pak RW yang sedikit lebih tua dari kami dan dia cakep. Selesai melakukan
vandalisme tersebut kami kabur, kami tau itu salah tapi kami tidak tau kalau
kesalahan itu berbayar mahal yang harus ditanggung kedua orang tua kami. Dan
anehnya untuk kesalahan itu, Bapak tidak memarahi saya, apalagi menghajar.
Bersambung...
Comments
Post a Comment