Skip to main content

Di Balik Fenomena Trend Novel Sejarah



Sejak beberapa tahun belakangan ini dunia sastra kita sedang kebanjiran sastra sejarah, khususnya novel. Sampai-sampai helatan sastra genre ini secara khusus digelar secara akbar: Borobudor Writers & Cultural Festival di Magelang tanggal 17-20 Oktober kemarin.
Sebenarnya menulis cerita rekaan atau fiksi yang gagasan dasarnya diambil dari catatan sejarah bukanlah barang baru di negeri ini. Itu bisa ditelisik dalam hampir
semua karya-karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, seperti salah satu karya besarnya: Arus balik. Tetapi genre penulisan sastra sejarah tidaklah berjubal dan semencolok beberapa tahun terakhir ini.
            Ada apa di balik fenomena merebaknya kemunculan novel sejarah? Apa sebabnya mengapa novel sejarah menjadi trend? Dan mau dibawa kemana dunia sastra kita dengan fenomena ini?
Definisi Novel Sejarah
            Thrall dan Hibbard (1986: 198) menyatakan, A novel, the characters, setting, and action of which are drawn from the records of locality, a nation, or a people”. Ini bermakna bahwa elemen yang terdapat dalam novel sejarah itu bersumber dari catatan-catatan tentang kondisi suatu daerah, suatu bangsa atau masyarakat setempat. Dalam definisi ini faktor record (catatan) menjadi sangat penting. Sebab dengan adanya catatan itu unsur sejarah dapat disampaikan dalam novel sejarah. 
Pendapat lain menyatakan “The historical novel is a literary genre characterized by the attempt to fuse strong dramatic plot lines and credible human psychology, within a setting constituted from specific historical detail—typically based upon diligent research into actual events, locations, and characters, as well as cultural customs, costume, and speech (http://www.litencyc.com). Definsi kedua ini menekankan bahwa novel sejarah merupakan suatu genre sastra yang ditandai dengan suatu upaya untuk menyatukan garis plot dramatik yang kuat dan psikologi manusia yang luar biasa ke dalam suatu ruang yang terdiri dari perincian sejarah yang khas yang biasanya berdasarkan penyelidikan cerdas ke dalam tokoh, tempat dan kejadian serta budaya, tradisi, dan perkataan. Definisi kedua ini secara lebih luas memberikan cakupan tentang novel sejarah.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa novel sejarah merupakan sebuah novel yang ditulis dengan mengambil sumber-sumber yang memiliki nilai-nilai sejarah atau fakta-fakta sosial yang terjadi dalam masyarakat. Nilai-nilai sejarah itu biasanya diangkat melalui penokohan, tempat, dan kejadian. Dalam novel sejarah pengarang melakukan proses interpretasi terhadap peristiwa sejarah yang terjadi dalam waktu dan tempat tertentu. Novel sejarah bukan buku referensi sejarah yang ditulis dengan metode sejarah. Novel sejarah hanyalah suatu upaya untuk merekonstruksi peristiwa sejarah yang pernah terjadi.
Ada Apa Dengan Novel Sejarah?
            Mengapa novel sejarah sekarang ini banyak bermunculan? Fenomena novel sejarah yang menjadi trend tentu saja karena novel tersebut laris di pasaran. Sesuatu yang laris di pasaran tentu menjadi kiblat untuk melahirkan karya-karya serupa yang tak sama. Ketika sebuah novel sejarah muncul dan menjadi sangat terkenal, maka baik penulis maupun penerbit berlomba-lomba melahirkan karya novel yang bergenre sama.
 Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa novel tersebut sedang banyak digemari? Teori Baudrillard menyatakan bahwa masyarakat merupakan apa yang mereka konsumsi dan berbeda dari tipe masyarakat lain berdasarkan atas objek konsumsi. Jadi, ketika banyak masyarakat yang mengonsumsi novel sejarah, itu bisa menjadi tanda bahwa masyarakat sekarang ini sedang butuh pencerahan dan inspirasi dari suatu jaman yang bukan sekarang. Mereka menginginkan hidup di jaman novel yang mereka baca. Misalnya ketika membaca pentalogi Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi, saya membayangkan berada di jaman itu dan memiliki para bangsawan atau pejabat-pejabat kerajaan seperti yang terdapat pada jaman Majapahit.
Sedangkan dari segi sastra, ada beberapa keuntungan bagi sastrawan dalam merekonstruksi peristiwa sejarah melalui karya sastra di antaranya: Pertama, peristiwa sejarah dapat menjadi bahan baku tanpa perlu pertanggungjawaban terlebih dahulu.
Kedua, peristiwanya, situasi, kejadian, cukup diambil dari khazanah accepted history-nya bagi hal-hal masa lampau, atau dari common sense bagi peristiwa kontemporer. Prosedur kritik, interpretasi dan sintesis tidak diperlukan sastra sebagaimana sejarawan.
Ketiga, jika tulisan sejarah keterbatasannya terletak pada objeknya yang mengaktual di masa lampau dan menutup diri di balik waktu, sebaliknya dalam sastra, objek justru terletak dalam jangkauan waktu, praktis tanpa pembatasan-pembatasan intelektual dan material. Pelaku dan kejadian dalam sastra bisa saja semuanya imajiner, sementara penulis hanya mempertanggungjawabkan pekerjaan cerita. Pertanggungjawaban kebebasan pengarang sastra sejarah semata-mata hanya terletak pada kejujurannya.
Novel sejarah yang secara sengaja menggunakan peristiwa sejarah sebagai bahan, mempunyai ikatan kepada historical truth, sekalipun kebenaran sejarah bersifat relatif. Pertanggungjawaban sejarah dan sastra berbeda. Sejarah mempunyai tugas kembar. Pertama, sejarah bermaksud menceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Kedua, sejarah harus mengikuti prosedur tertentu. Tidak begitu halnya karya sastra,yang  tidak tunduk kepada metode-metode tertentu.


Antara Sastra dan Sejarah
            Pada dasarnya bila ditinjau dari pengertian sastra, sebenarnya sejarah merupakan bagian dari sastra. Sejarah adalah suatu kejadian peristiwa pada masa lampau yang bersangkutan dengan manusia dan memilki pengaruh pada masa  kini dan masa yang akan datang serta dapat dibuktikan dengan fakta dan data yang valid hingga dapat dipertanggungjawabkan. Dari kata data dan fakta tersebut banyak sekali yang ditemukan oleh para sejarawan berupa tulisan. Hal yang paling besar dan tidak dapat dipungkiri adalah bahwa banyak sejarah –khususnya sejarah dunia yang diperoleh dari catatan Herodotus dimana herodotus diakui sebagai bapak sejarawan sedunia. Benarkah demikian? Menurut data yang ada bahwa herodotus disebut sebagai bapak sejarawan berkat tulisannya yang dapat mengungkap peristiwa dunia. Tetapi sebagian disiplin ilmu seperti antropologi mengakui bahwa Herodotus adalah bapak antropologi karena dari catatannya banyak menceritakan keanehan dari suatu kebudayaan bangsa. Hal ini merupakan suatu fakta bahwa sejarah sangat erat hubungannya dengan sastra. 
Para penulis novel sejarah menulis novel sejarah bertujuan untuk menyampaikan peristiwa sejarah dalam bentuk karya fiksi. Bila diamati secara mendalam terdapat pertentangan antara novel yang bersifat fiksi dan sejarah yang bersifat fakta. Karya fiksi biasanya lebih mementingkan unsur imajinasi yang bersifat subjektif sedangkan sejarah lebih mementingkan fakta yang bersifat objektif. Namun demikian, dengan kreatifitasnya manusia mampu menyatukan dua hal yang berbeda itu ke dalam istilah novel sejarah. Konsekuensi dari penyatuan dua konsep yang berbeda itu memerlukan pandangan yang terbuka untuk memahami makna novel sejarah itu. 
Ada beberapa perbedaan berkaitan antara sejarah dan sastra. Kuntowijoyo, seorang begawan sejarah Indonesia dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah (1995) mengungkapkan beberapa perbedaan antara sastra dan sejarah seperti cara kerjanya, kebenaran yang diungkapkan, hasil keseluruhan dan kesimpulan yang disampaikan. Bila dilihat dari aspek bahasa yang digunakan, sastra dan sejarah juga menunjukkan perbedaan. Bahasa sastra biasanya menggunakan bahasa tak langsung atau bahasa kiasan sehingga gagasan yang terdapat dalam sastra disampaikan secara tidak langsung. Sebaliknya dalam sejarah bahasa yang digunakan mesti bersifat langsung sebab tujuan sejarah mengungkapan suatu gagasan atau peristiwa sejelas-jelasnya kepada publik. 
Persoalan yang sering muncul ketiga membincangkan sastra (novel) dan sejarah adalah tentang kebenaran yang terdapat dalam sastra dan sejarah. Apakah kebenaran yang terdapat dalan karya sastra itu bersifat imajinatif belaka sehingga itu tidak bisa dianggap sebagai kebenaran? Belum tentu, sebab banyak juga karya sastra yang ditulis berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat. Meskipun demikian, kebanyakan orang tetap saja memandang sastra sebagai karya imajinatif yang kebenarannya bersifat tiruan. Karya sastra hanya dianggap sebagai mimes atau tiruan dari kehidupan nyata. Sebaliknya bagaimana pula dengan sejarah. Apakah kebenaran sejarah benar-benar objektif berdasarkan fakta yang ada? Belum tentu juga. Apakah sejarah benar-benar bersifat objektif sehingga mampu mengungkap kebenaran dari fakta-fakta dengan sebenar-benarnya. Kenyataannya tidak, sebab penulisan sejarah juga melibatkan interpretasi terhadap fakta yang ada sehingga interpretasi itu akan menimbulkan versi atau pendapat sejarah yang berbeda. Bahkan sangat dimungkin terjadinya manipulasi fakta sejarah demi kepentingan tertentu. 
Bila begitu kondisnya, sebenarnya perbedaan antara sastra dan sejarah menjadi sangat kabur sebab antara sastra dan sejarah mempunyai unsur interpretasi terhadap suatu fakta. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebenaran sastra dan sejarah sama-sama  bersifat interpretatif dan relatif sehingga perlu dihindari sikap absolut atau menganggap kebenaran mutlak terhadap sesuatu perkara. 
Dalam membincangkan tentang satu novel sejarah, sebaiknya tidak membincangkan kebenaran sejarah yang diungkap dalam novel itu. Tidak perlu diuji kebenaran sejarah yang diungkapkan dalam novel sejarah sebab novel itu hanya membuat suatu interpretasi terhadap peristiwa sejarah. Tidak perlu susah-susah membuktikannya dengan melihat buku sejarah yang telah ada. Yang terpenting adalah bahwa dalam novel tersebut telah diangkat peristiwa sejarah dan peristiwa sejarah itu dianggap sebagai mental evidence atau bukti yang bersifat mental dari fakta-fakta sosial yang terjadi dalam masyarakat. Bila dalam satu novel dikisahkan perjuangan Hang Tuah, tidak perlu dibuktikan bahwa Hang Tuah yang ada dalam novel itu sama versinya dengan Hang Tuah yang tercatat dalam sejarah Melayu. Yang terpenting adalah tokoh Hang Tuah telah rekonstruksi di novel dan ini membuktikan bahwa tokoh Hang Tuah menjadi penting dan terdapat dalam alam kesadaran dan pikiran orang Melayu.
Berkaitan dengan aktivitas penulisan novel sejarah, seorang penulis novel sejarah memang perlu untuk membaca buku sejarah bila hendak memasukan unsur sejarah dalam novelnya. Tidak hanya sebatas buku sejarah, bertanya kepada  orang yang mengetahui sejarah suatu peristiwa juga sangat berguna sebab pasti buku sejarah tidak bisa mencatat semua peristiwa sejarah dengan lengkap. Pasti ada bagian-bagian tertentu yang tertinggal atau sengaja ditinggalkan. Selajutnya, ketika penulis novel sejarah menulis novel, ia tidak perlu menulis persis sama dengan yang tetulis dengan buku sejarah. Bila ia menulis persis sama dengan buku sejarah berarti ia menulis buku sejarah versi keduanya. Yang perlu diingat oleh penulis novel sejarah adalah bahwa ia sedang menulis novel sejarah bukan buku sejarah sehingga ia bebas untuk menulis novel dengan memasukkan unsur sejarah menurut versi sang penulis. Penulis novel sejarah diberikan kebebasan untuk menginterpretasikan sejarah. Makna sejarah itu ada pada pemikiran penulis sehingga ia boleh menginterpretasikan peristiwa sejarah yang terjadi. Ketika novel sejarah itu sampai ditanggan pembaca, pembaca pun berhak menginterpretasikan novel itu sebab makna itu telah menjadi milik pembaca. 
Namun penulis tetap perlu membaca sejarah. Tanpa membaca sejarah, penulis novel tidak akan pernah mengetahui gagasan atau kejadian penting yang terjadi dalam masyarakat. Seorang penulis novel sejarah mesti mempunyai kepekaan terhadap kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Jika tidak, penulis novel sejarah akan kehilangan gagasan untuk menulis sebab karya sastra itu dilahirkan tidak dalam kekosongan ruang dan waktu (Teeuw, 1980: 11). Karya sastra itu ditulis dalam suatu sistem masyarakat yang kompleks. Dengan kata lain, karya sastra itu dilahirkan oleh masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu sehingga penulis novel sejarah perlu benar-benar memahami waktu dan kondisi masyarakat yang akan ia gunakan sebagai bahan mentah untuk menulis novel sejarah. Tetapi harus dingat bahwa apa-apa yang didapati dalam masyarakat hanya bahan mentah saja sehingga seorang penulis novel sejarah boleh berkreasi dan memaksimalkan potensi imajinasi dalam menulis novel sejarah. karya sastra itu merupakan sebuah struktur yang tidak statis, melainkan merupakan suatu produk dari proses sejarah yang terus berlangsung Goldmann dalam Faruk (1999: 12).
Kesimpulan
            Novel sejarah merupakan sebuah novel yang ditulis dengan mengambil sumber-sumber yang memiliki nilai-nilai sejarah atau fakta-fakta sosial yang terjadi dalam masyarakat.
            Pertanggungjawaban sejarah dan sastra berbeda. Sejarah mempunyai tugas kembar. Pertama, sejarah bermaksud menceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Kedua, sejarah harus mengikuti prosedur tertentu. Tidak begitu halnya karya sastra,yang  tidak tunduk kepada metode-metode tertentu.
            Novel sejarah menjadi trend beberapa tahun terakhir karena masyarakat sedang mengalami kejenuhan pada dunia yang sedang dijalani saat ini. Mereka membutuhkan pencerahan dan inspirasi dari suatu jaman yang bukan sekarang.
            Sisi positif dari fenomena ini adalah masyarakat bisa lebih mengenal sejarah mereka dan menjadikan sejarah bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang sangat membosankan. Ketika banyak orang yang membaca novel sejarah, maka semakin banyak pula yang akan lebih menghargai budaya lokal.
Add caption

Comments

Post a Comment

Most read

Di Balik Bait yang Menyentuh Hati 2

Kali ini tentang cinta. Cerdasnya itu orang yang bisa menghubung-hubungkan bait-bait alfiyah dengan cinta. Mewakili kegamanganku pula isinya. Wes jannn... santri Sarang!!! Ini saya beri sedikit tambahan kata-kata dari saya. Meskipun begitu, ide pokoknya tetap dari teman saya itu. Sayangnya, sepertinya ada yang terdistorsi karena keteledoran saya. Mau nyari lagi ketemunya lama... Ah, ya udah ini dulu ya ^_^ "Faqod yakunaani munakkaroini, kama yakunaani mu'arrofaini” "Alfiyah Ibnu Malik bab Atof bait 537" Terkadang pasangan suami istri itu ditemukan secara kebetulan sama tidak mengenalnya, dan terkadang keduanya sudah mengenal sejak kecil. Menikah adalah saat dimana ketidaksempurnaan bukan masalah yang dipermasalahkan Saat dimana ketulusan diikatkan sebagai senyum kasih Saat dimana kesendirian dicampakkan sebagai kebersamaan Saat dimana kesetiaan harga mati yang tak bisa dilelang Gadis perawan bagaikan penghalang dan satir bagi laki-laki yang