Skip to main content

Semester Tujuh part 2: Pasangan Hidup


Ada orang bilang, “Mencari isteri/suami itu mudah, mencari jodoh yang sulit.” Hm, kalau kata orang itu benar, ngeri sekali ya. Saya membayangkan ada orang yang sudah berkali-kali menikah tapi belum juga bertemu jodohnya. Dan ternyata jodohnya belum dilahirkan atau sudah meninggal. Lha terus dari kemarin-kemarin menikahi jodohnya siapa? Taunya itu jodoh atau bukan dari mana? Apakah yang membersamai sampai meninggal itu namanya jodoh atau justeru belum tentu jodoh? Apakah bersatu dalam pelaminan bukan karena mereka berjodoh? Lalu bagaimana dengan statemen “tidak berjodoh di dunia tak apa, asal berjodoh di akhirat”? Apakah satu orang bisa memiliki jodoh lebih dari satu?  Kalau iya, lalu bagaimana dengan janji Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan?

Kalau menurut saya, “Mencari orang untuk dijadikan pacar itu mudah, mencari orang untuk dijadikan suami yang sulit.” Hal ini terbukti dari survey saya terhadap teman-teman saya yang memiliki pacar. Kebanyakan dari mereka tidak ingin kalau pacar mereka saat ini yang akan menjadi suami mereka kelak. Bukan hanya itu, sungguh, kalau saya mau saya bisa berkali-kali punya pacar atau mantan dan saat ini saya pasti tidak jomblo. Banyak sekali saya temui orang yang di pikiran saya ‘bolehlah orang ini kalau untuk sekarang, tapi untuk masa depan, tidak deh’. Sekalinya ada yang dirasa cocok untuk masa depan, sayanya yang di bawah standar dia. Kan sulit kan?

Dulu kelas 5 SD saya berjanji tidak akan pacaran sebelum usia 17 tahun. Dan sekarang saya sudah 21 tahun. Saya tidak mau mengambil keputusan untuk menjadi pacar seseorang atau menjadikan orang sebagai pacar saya. Setelah dipikir-pikir, juga lagi-lagi berdasarkan pengamatan terhadap orang-orang di sekeliling saya, status semacam itu akan menjadikan seseorang merasa memiliki seseorang yang lain. Ketika seseorang sudah merasa memiliki seseorang lain, yang terjadi pasti: kecemburuan satu sama lain yang berakibat sebuah pengekangan dan keterbatasan ruang gerak; interaksi fisik di luar batas karena merasa memiliki (kadang tidak saling memiliki saja berani macam-macam, apalagi kalau sudah merasa memiliki?); suasana hati yang dapat mengganggu aktivitas dan produktivitas; dan pengorbanan waktu demi membahagiakan satu sama lain yang kadang keterlaluan. Saya hanya tidak ingin terikat, karena saya tidak suka diatur-atur apalagi oleh orang yang tidak berkontribusi apapun dalam hidup saya. Ini baru yang murni dari dalam diri saya, belum dari segi agama, belum dari segi pertemanan, belum larangan dari orang tua, belum dari segi ekonomi. 

Saya tidak bilang saya tidak pernah menyukai orang lain, dekat dengan oranng lain, cemburu, galau, patah hati, sakit hati , dan lain sebagainya ya. Saya mengalaminya karena saya normal. Hanya manusia yang hatinya sekeras batu yang tak pernah merasakan jatuh cinta. Saya berusaha sebiasa mungkin ketika saya menyukai orang lan. Sekalipun orang yang saya sukai telah terang-terangan mengatakan bahwa dia menyukai saya, saya biasanya hanya mengatakan, “Ya udah. Jalani aja.” Saya bilang jalani saja karena siapa tahu di tengah jalan jatuh cinta lagi dengan orang lain yang lebih baik. Siapa tahu di tengah jalan nanti bertemu jodohnya. Entah dia, entah saya. Makanya saya tidak mau terikat. Kalau tidak terikat kan tidak ada istilah pengkhianatan, perselingkuhan, atau penikungan. Kita tidak berhak marah-marah karena bukan siapa-siapanya.  

Dia tidak perlu tahu perasaan saya, buat apa? Itu privasi saya. Sedekat-dekatnya saya dengan laki-laki, hanya sebatas teman. Maka nanti seiring berjalannya waktu, terlihat sendiri tingkat keseriusan dia. Kalau dia tiba-tiba jadian dengan yang lain (seringnya sih gini), ya sudah, ikhlaskan, berarti dia tidak benar-benar menyukai saya. Wajar sih. Siapa pulak yang mau digantungkan tanpa diberi harapan, tanpa diberi kepastian pula. Ya masa saya mendahului takdir Tuhan saya sebelum waktunya? Memaksa orang untuk berkomitmen padahal belum mau menikah adalah sebuah bentuk ketidakyakinan terhadap kepastian Allah. 40.000 tahun yang lalu kan sudah dipastikan soal jodoh, maut, rizki, bahagia atau celaka. Sesuatu yang sudah pasti mengapa masih diperjuangkan? Bisa jadi jodohnya bukan orang yang diajak komitmen ya kan.

Saya mudah kagum dengan orang lain, mudah jatuh hati, dan alhamdulillahnya sangat mudah move on. Kagum itu sebatas terpesona dengan apa yang dia miliki, belum terlintas pikiran untuk ingin menjadi isterinya kelak (karena sadar diri ini hanya apa atuh, kwkwk). Jatuh hati itu sinonimnya suka, ini berawal dari rasa kagum. Saya sering jatuh hati. Dan jatuh cinta berawal dari jatuh hati. Nah dari sini baru muncul rasa ingin menjadi isterinya kelak. Ini opini pribadi saya loh, jangan asal percaya.

Boleh lah orang itu memilih perempuan lain yang bisa diajak pacaran. Saya mungkin patah hati sedikit, banyak kecewanya. Kecewa karena eman-eman sekali dia tidak bisa sabar sebentar, paling lama 3 tahun lagi lamar aku kenapa. Hahaha, becanda. Maksud saya, mengapa dia begitu mudah berganti hati. Sendiri kan lebih baik sampai waktu dan takdir dipertemukan. Terpukul, berubah mood, saya pastikan saya mengalami itu barang setengah hari. Besoknya balik lagi. Toh saya tidak kehilangan apapun dari dia. Di luar sana saya yakin masih banyak yang mau menjadi pasangan hidup saya (mindset biar gampang move on). E tapi serius loh.

STMJ (Semester Tujuh Masih Jomblo)

Dulu waktu masih duduk di bangku MA, saya mentarget akan mencari pasangan hidup di semester tujuh. Kalau hanya sekadar mencari, saya sudah. Hanya saja belum menemukan yang pas di hati. Kembali lagi seperti: kalau untuk sekarang boleh lah, tapi untuk masa depan tidak. Kecuali kalau sekarang mau berusaha memantaskan diri untuk masa depan. Karena setiap perempuan pasti akan luluh dengan orang yang mau berjuang, apalagi memperjuangkannya.

Tapi kalau membahas soal perjuangan kok jadi kontra ya dengan pernyataan di atas bahwa jodoh itu hal yang sudah pasti, tidak perlu diperjuangkan. Em, referensi perjuangannya beda nih. ‘Tidak perlu diperjuangkan’ yang atas maksudnya adalah dikejar-kejar terus, diteror, kalau perlu diancam orangnya bahkan orang tuanya sampai orang itu mau berjanji untuk hanya dekat dengan dia saja, hanya menikah dengan dia saja, meski realisasinnya entah beberapa tahun lagi. Intinya sudah dicup dari sekarang. Sedangkan perjuangan yang saya harapkan adalah perjuangan dengan cara menjaga diri dari menjadikan perempuan lain sebagai pelarian (pacaran), berlomba dalam kebaikan, dan kalau kirim-kirim doa, sholawat, atau fatihah boleh lah. Saya juga sering kok, tiap hari malah. Ea.

Pasangan Hidup Saya

Yang pasti dia luar biasa, sabar, penyayang, bukan orang yang malas, mengajak dan mudah diajak untuk kebaikan, dan paling penting dia mengajak saya untuk berjalan di sampingnya bukan di belakangnya (kecuali pas sholat, sholat kan gak jalan btw). Dia yang menganggap saya sebagai partner, bukan boneka atau barang apalagi pembantu yang derajatnya jauh di bawahnya. Dia yang bisa diajak dan mau mengajak bertukar pikiran. Dia yang mau diajak sama-sama meraih mimpi, berkeliling dunia, menebar manfaat, dan mencari ilmu.

Dia yang memiliki adab tata krama yang baik, seperti: terbiasa memberikan sesuatu kepada seseorang bukan dengan cara dilempar, masuk kamar mandi dengan kaki kiri, masuk masjid dengan kaki kanan, makan dan minum tidak dengan berdiri, terbiasa menerima dan memberi sesuatu dengan tangan kanan bukan tangan kiri, dan yang jelas tidak memperlakukan orang lain sebagai yang lebih rendah darinya. Ini mungkin sepele, tapi di mata saya ini wajib dimiliki oleh calon ayah dari calon anak-anak saya. Saya paling risih diperlakukan seperti itu karena orang tua mendidik saya keras untuk tidak melakukan hal-hal di atas.

Siapa pu dia, boleh lah dia seorang arsitek, boleh lah dia dokter hewan, boleh lah dia aktivis, apa saja asalkan bisa menjadi imam sholat, bisa mengaji, dan berjiwa sosial. Tidak perlu kyai, tidak perlu ustadz, tidak perlu anak kyai, tidak perlu anak bangsawan kalau hanya gila hormat. Asalkan dia senang belajar mengamalkan agama dan menghargai orang lain, saya berjanji akan sepenuh hati berusaha ciptakan surga di rumahnya. Insya Allah, aamiin.
Proposal ini Ya Allah, kabulkan. Aamiin…

Doa Catatan Semester Tujuh
Ya Allah, lancarkanlah tugas akhir S1 hamba juga teman-teman hamba. Beri nilai yang baik dan jadikan ini jalan yang baik untuk jenjang berikutnya. Kabulkan harapan hamba ingin terus mencicipi ilmu-Mu. Kalau Engkau tidak keberatan, hamba ingin membaca puisi di bawah menara Eiffel.
Lancarkanlah jalan untuk masa depan hamba, bahagiakan orang tua hamba, selalu berikan mereka kesabaran dan kebanggaan atas putri sulungnya. Jadikan hamba anak yang tahu diuntung.
Terakhir Ya Allah, selalu tempatkan hamba bersama orang-orang yang sholih agar senakal-nakalnya hamba selalu ada yang menggiring untuk kembali.

Comments

Most read

Di Balik Bait yang Menyentuh Hati 2

Kali ini tentang cinta. Cerdasnya itu orang yang bisa menghubung-hubungkan bait-bait alfiyah dengan cinta. Mewakili kegamanganku pula isinya. Wes jannn... santri Sarang!!! Ini saya beri sedikit tambahan kata-kata dari saya. Meskipun begitu, ide pokoknya tetap dari teman saya itu. Sayangnya, sepertinya ada yang terdistorsi karena keteledoran saya. Mau nyari lagi ketemunya lama... Ah, ya udah ini dulu ya ^_^ "Faqod yakunaani munakkaroini, kama yakunaani mu'arrofaini” "Alfiyah Ibnu Malik bab Atof bait 537" Terkadang pasangan suami istri itu ditemukan secara kebetulan sama tidak mengenalnya, dan terkadang keduanya sudah mengenal sejak kecil. Menikah adalah saat dimana ketidaksempurnaan bukan masalah yang dipermasalahkan Saat dimana ketulusan diikatkan sebagai senyum kasih Saat dimana kesendirian dicampakkan sebagai kebersamaan Saat dimana kesetiaan harga mati yang tak bisa dilelang Gadis perawan bagaikan penghalang dan satir bagi laki-laki yang