Skip to main content

Mengejar yang Akan Datang dengan Sendirinya


Banyak hal di dunia ini yang kita inginkan dan kita kejar mati-matian walaupun sebenarnya tidak selayak itu untuk diperjuangkan. Uang misalnya. Teman saya berusaha kesana-kemari mencari pekerjaan dan ia terlihat begitu putus asa dan tertekan. Padahal apa yang sedang ia jalani saat ini juga sebuah pekerjaan. Teman satu jurusan saya yang beda universitas kemarin juga mengeluh bahwa ia sedang tertekan, dia bingung kalau sudah lulus nanti mau kerja apa, cari uang dari mana untuk hidup, dan mau kerja di mana. Padahal dia sekarang baru semester lima. Saya bahkan sampai lulus tidak terlalu memusingkan hal demikian. Hm, padahal kalau dilihat secara kasap mata hidup mereka lebih cukup daripada saya.

Kadang saya berpikir, apakah mungkin pikiran bahwa ‘uang tidaklah sepenting itu untuk dicintai’ dalam diri saya muncul, karena saya tidaklah sekaya mereka yang punya uang melebihi apa yang mereka perlukan. Apakah mungkin pikiran bahwa ‘harta tidaklah sepenting itu untuk dicari’ dalam diri saya muncul, karena saya tidaklah ‘seberuntung’ mereka yang punya segalanya. Atau apakah ini mungkin hanya penyangkalan saya semata? Bahwa saya memang tidak sehebat itu untuk mampu membeli segala yang saya butuhkan; apalagi segala yang saya inginkan.

Kalau ditanya titik terendah dalam hidup saya dan keluarga, jawabannya adalah pada masa-masa saya masih sekolah meskipun orang tua saya selalu berusaha memberikan apa yang diinginkan putra-putrinya. Oleh karenanya sejak lulus Aliyah saya merasa tidak lagi memiliki wajah untuk meminta uang kepada orang tua saya; bila itu hanya untuk keinginan saya memiliki ponsel terbaru, atau baju baru karena baju yang saya pakai ya cuma itu-itu saja, atau sepatu baru—karena saya tidak punya sepasang sepatu yang cukup untuk saya pakai 7 kali bergantian dalam satu minggu. Tapi saya merasa semuanya baik-baik saja. Allah selalu memberi jalan sehingga saya masih bisa beli baju untuk kebutuhan, masih bisa makan apa yang sama mau, sesekali baju yang saya inginkan meskipun harus dengan menabung dan berpuasa terlebih dahulu.

Ada sebuah Indian Proverb yang berbunyi; I had no shoes and complained, until I met a man who had no feet. Anggap lah apa yang sudah saya lalui dalam hidup saya, mampu membuat saya mengamini kalimat barusan. Manusia butuh makan, tapi siapa bilang manusia butuh makan yang sangat enak? Manusia butuh pakaian, tapi siapa bilang manusi butuh pakaian yang sangat indah?

Dulu saya sering menyesali keputusan Bapak yang pindah ke desa. Hal itu membuat saya merasa serba terbatas, terutama ekonomi. Tidak ada lagi jalan-jalan tiap akhir pekan, tidak ada lagi makan di McD, tidak ada lagi jalan-jalan ke mall. Yang ada hanyalah sawah membentang dan rumah kami yang sederhana, jauh dari kota, dan belum jadi-jadi sampai sekarang. Saya yakin ibu saya juga dulu tertekan. Beliau pasti ingin bekerja lagi sebagaimana masa mudanya di kota. Tapi lama-lama mereka menerima dengan lapang dan terbiasa dengan kehidupan yang amat sederhana dan jauh dari kepastian gaji sebagaimana PNS.

Pegangan mereka adalah bahwa rizki mengejar tuannya seperti maut mencari pemiliknya, dan bahwa rizki anak sudah diatur oleh Yang Maha Pengatur. Maka yang mereka tanamkan pada saya adalah bahwa saya tidak perlu memprioritaskan uang banyak sebagai tujuan hidup yang harus saya cari. Saya hanya perlu melakukan hal terbaik yang bisa saya lakukan. Nanti Allah balas juga sepadan dengan apa yang telah dikerjakan, bahkan lebih. Cukup selalu menjadi anak baik bagi orang tua dan manusia baik untuk orang-orang di sekitarnya. Oleh karenanya saya bebas menentukan pilihan ingin kerja di mana saja tanpa harus dipusingkan dengan berapa gaji yang akan saya dapatkan.

Keinginan untuk membantu orang tua tentu saja ada karena Bapak saya adalah tulang punggung satu-satunya di rumah. Tapi karena orangtua tidak pernah meminta, maka berapa pun yang saya beri, mereka menerimanya dengan senang hati dan membalasnya dengan ribuan doa. Ya Allah, semoga besok saya bisa menjadi orang tua seperti orang tua saya, yang tidak ingin bergantung dan meminta kecuali hanya kepada-Mu.

Saya ingat juga dulu ketika teman-teman perempuan sebaya saya waktu MTs ditanya ingin jadi apa, kebanyakan menjawab ingin jadi isteri konglomerat yang di rumah tinggal kipas-kipas aja. Sedangkan saya malah menjawab, “Ingin jadi isteri Kyai,” Hahaha. Sama-sama jawaban yang bodoh karena masih bergantung pada orang lain.

Epilog

Kapan itu saya ingat betul percakapan seorang Ustad  dengan jamaahnya di televisi,

 “Ustad, kapan saya bisa kaya?!”

“Astaghfirullohhaladzim, ente pikir harta ente kurang. Itu mata bisa ngeliat, kaki bisa jalan, telinga bisa denger. Kita itu kaya-nya luar biasa!”

“Yaaa maksud saya bukan kaya sehat ustad. Kaya uang, saya udah bosen hidup miskin terus ini!”

“Ente tahu, Allah SWT bilang; Ketaqwaanmu tidak akan pernah bisa mengubah takdirmu!”

“Yahhhh kalo gitu sampe lebaran monyet saya bakal miskin terus dong?!”

“Yeee tunggu dulu, gue belum selesai ngomong. Ketaqwaanmu tidak akan pernah bisa mengubah takdirmu. Tapi Aku bisa! Nah, jadi lo pikir sendiri deh tuh.”

Seriously waktu nonton saya sempet bengong beberapa detik. Saya terkesima dengan kalimat itu. Ketaqwaanmu tidak akan pernah bisa mengubah takdirmu. Tapi Aku bisa!

Ya, Tuhan begitu besar kuasanya. Kita yang kerap  menyepelekan ukurannya dengan berputus asa. Kita yang kecil ini, sering kali mengecilkan peran Tuhan kita sendiri.

Dan betapa kurang ajarnya kita bila kita yang terlahir normal masih merasa miskin dalam hidup. Cara pandang kita lah yang membuat kita miskin. Jadi, jangan pernah mau dimiskinkan dunia, teman. Jangan. Atau Tuhan akan benar memiskinkanmu, mengambil setiap nikmat yang telah dia titipkan. Karena kamu bahkan lupa melihatnya sebagai nikmat.

Ada satu lagi nasihat yang saya masih terngiang-ngiang dibuatnya. Dunia itu jangan dikejar-kejar, tapi dibeli dengan sedekah. Kalau kita ingin mendapatkan banyak, tentu banyak juga harus rela kita beri atau sedekahkan. Dan sedekah tidak melulu berupa uang. Senyum yang menghangatkan sedekah, dua rokaat dhuha sedekah, menyingkirkan batu di jalan sedekah, memudahkan urusan orang lain sedekah, tapi bukan berarti pelit dengan harta. Karena nyatanya harta atau uang tidak seberapa yang diberikan ke orang lain tidak akan pernah habis, justru uang yang kita konsumsi sendiri yang sejatinya habis tak bersisa.

Comments

Most read

Di Balik Bait yang Menyentuh Hati 2

Kali ini tentang cinta. Cerdasnya itu orang yang bisa menghubung-hubungkan bait-bait alfiyah dengan cinta. Mewakili kegamanganku pula isinya. Wes jannn... santri Sarang!!! Ini saya beri sedikit tambahan kata-kata dari saya. Meskipun begitu, ide pokoknya tetap dari teman saya itu. Sayangnya, sepertinya ada yang terdistorsi karena keteledoran saya. Mau nyari lagi ketemunya lama... Ah, ya udah ini dulu ya ^_^ "Faqod yakunaani munakkaroini, kama yakunaani mu'arrofaini” "Alfiyah Ibnu Malik bab Atof bait 537" Terkadang pasangan suami istri itu ditemukan secara kebetulan sama tidak mengenalnya, dan terkadang keduanya sudah mengenal sejak kecil. Menikah adalah saat dimana ketidaksempurnaan bukan masalah yang dipermasalahkan Saat dimana ketulusan diikatkan sebagai senyum kasih Saat dimana kesendirian dicampakkan sebagai kebersamaan Saat dimana kesetiaan harga mati yang tak bisa dilelang Gadis perawan bagaikan penghalang dan satir bagi laki-laki yang