Skip to main content

Bapak part 1

Dari kemarin-kemarin ingin sekali membuat tulisan tentang Bapak. Apalagi kemarin teman saya meminta izin hari-hari ini tidak bisa menemani saya karena dia harus pulang kampung, Bapaknya diopname. Saya jadi tambah ingat Bapak sekaligus merindukannya. Bahkan semalam sampai menangis mengingat-ingat segalanya. Eh ternyata ini hari Ayah, 12 November. Pas lah momennya.

My Little Me

Saya bersyukur dilahirkan sebagai anak pertama, anak yang menyaksikan sendiri perjuangan sepasang suami isteri yang baru memulai rumah tangga. Benar-benar dari nol mereka berjuang karena jauh dari kedua orang tua. Orang tua Bapak di Demak, orang tua Ibu di Kutoarjo. Setau saya –yang tentu saja juga tau dari mereka, mereka mengontrak rumah di daerah Ciledug sejak menikah. Bapak berjualan buah di daerah Blok M, Ibu sesekali membantu di konveksi milik Bude yang rumahnya tidak jauh dari tempat tinggal kami.

Setahun lebih sebulan setelah mereka menikah, tepatnya hari Sabtu Wage saat matahari sedang bersinar cerah, lahir lah saya di sebuah ranjang kamar rumah Mbah di Demak. Saat itu banyak sekali orang berkumpul di rumah Mbah. Bukan hanya karena Ibu saya melahirkan, tapi karena Bapak sedang sakit bahkan dikabarkan hampir meninggal. Satu kamar dipakai untuk ibu saya melahirkan, sebelahnya untuk orang-orang bergantian membacakan surat Yasin untuk Bapak. Dan setelah saya lahir, Bapak sehat seperti semula, demikian juga Ibu saya alhamdulillah tidak mengalami kendala lebih saat dan pasca saya lahir.

Usia 40 hari saya dibawa naik bus ke Jakarta dan mulai saat itu saya dinyatakan tinggal di sana. Saya tidak terlalu ingat apa saja yang saya lakukan ketika masih bayi. Seingat saya, saya lebih sering dibawa pulang kampung ke Demak daripada ke Kutoarjo. Kata ibu saya, ndelalah pada masa saya bayi hanya saya yang masih bayi, eleeeh. Maksud saya ibu-ibu tidak melahirkan pada masa yang berdekatan sehingga hanya satu-satunya yang ditimang-timang, diajak main –lebih tepatnya dibuat mainan, dibawa ke sana-kemari, dibeliin jajan, hemmm sampai kata ibu saya kalau pulang kampung Demak, saya jarang di rumah kalau siang. Selain karena tidak banyak bayi atau balita, katanya saya aktif, imut, dan menggemaskan walaupun tidak gemuk, Hahaha. Bahasa Melayunya comel. Dan sampai sekarang sebagian besar masih terekam dalam ingatan siapa saja tetangga-tetangga Mbah yang sering momong saya. Mereka sebagian besar sudah menikah dan punya anak, sebagian lain masih bekerja. Semuanya masih saling sapa, kecuali yang masih mas-mas, biasanya kaget melihat saya sudah sebesar ini.

Kembali ke Bapak. Dulu katanya ketika masih sangat bayi, Bapak tidak mau menggendong saya karena Bapak tidak suka mendengar tangisan dan tidak mau diompoli. Saya tidak ingat masa itu sih, kalau pun benar saya tidak peduli. Kalau lihat foto-foto balita saya (yang sudah tidak bayi), banyak sekali foto Bapak menggendong dan mengajak saya main. Bapak saya ganteng, itu kesan pertama saya kalau melihat foto Bapak. Serius, tidak ada unsur nepotis.

Kenangan Bersama Bapak

Bapak berjualan setiap hari kecuali hari Minggu. Setelah sholat subuh Bapak sarapan sambil menyetel kaset-kaset kalau bukan Mayada, Sulis dan Hadad Alwi, atau Bimboo. Sedangkan menyetel radio adalah rutinitas khusus hari Minggu. Dia berangkat sebelum saya pergi ke sekolah. Berpamitan di luar, saya dan ibu saya bergantian mencium tangannya, terakhir Bapak mencium kening ibu lalu kami dadadada (ya dadadada). Kalau dagangan laris, Bapak pulang sore, tapi kalau belum habis, Bapak bisa sampai rumah pukul 21.00. Dia tidak pernah pulang dengan tangan kosong, pasti membawa oleh-oleh entah mainan, entah sisa dagangan, entah jajanan yang dibeli dari dagangan temannya. Saya dan ibu saya selalu menyambutnya dengan riang.

Tiap Minggu Bapak pasti libur. Dan saat libur beliau pasti mengajak saya dan ibu jalan-jalan, ke kebun binatang Ragunan, Taman Mini, Ancol, atau jalan-jalan di Mall (sekadar jalan-jalan, bukan belanja). Paling sering kami pergi ke Ragunan, karena murah. Ibu biasanya membawa bekal dari rumah untuk makan siang di sana di atas rerumputan. Kalau tidak, kami membeli cakwe di teman-teman bapak, gulali, atau apa saja yang biasanya ada di pinggir jalan. Kalau tidak ke mana-mana, Bapak di rumah sejak pagi ngopi, baca koran, nyetel radio seperti biasanya, kemudian pukul 09.00 berkutat dengan barang-barang elektroniknya. Ada saja yang dikerjakan, mengotak-atik soundsystem televisi, VCD, dan radionya. Btw, barang-barang itu sekarang masih berfungsi semua lho, 21 tahun men!

Ketika masih duduk di bangku TK yang tentu tiap hari Sabtu libur, saya sering diajak Bapak jualan. Lebih tepatnya bukan diajak, tapi saya yang ingin ikut. Kami berangkat pagi-pagi setelah sarapan, jalan kaki ke jalan besar, kemudian naik metromini sampai tempat Bapak menaruh gerobaknya. Kemudian kami berjalan sampai belakang SMA tempat Bapak berjualan. Bapak pasti bertanya, “Udah capek belum?” Kalau saya capek, Bapak akan menyuruh saya masuk ke dalam gerobak yang di dalamnya hanya ada lampu minyak dan senjata tajam, kemudian Bapak mendorongnya. Sambil menunggu pelanggan yang berhenti naik mobil, Bapak mengajak saya membaca koran atau mengisi TTS. Kalau sampai saat ini saya hobi baca koran dan mengisi TTS, itu ketularan Bapak saya. Pulang dari jualan biasanya Bapak mengajak saya ke sebuah rumah makan yang cukup ramai, lalu membungkus makanan untuk dinikmati bersama-sama di rumah.

Saya ingat terakhir kali ikut Bapak jualan. Waktu itu musim hujan. Sebelum Bapak membereskan sisa dagangan, ada orang teriak-teriak dari jauh. Dia preman ternyata. Bapak menyuruh saya masuk ke dalam gerobak. Kemudian Bapak bercakap-cakap dengan orang itu, entah apa yang dibacarakan saya hanya lamat-lamat mendengar. Setelah orang itu pergi, Bapak mengizinkan saya keluar sebelum akhirnya kami membereskan dagangan untuk segera pulang ke rumah. Saat itu hujan, Bapak menyuruh saya masuk dalam gerobak dan ia mendorongnya sambil berlari sampai tempat gerobak itu diletakkan. Ada orang teriak-teriak lagi di belakang. Semenjak itu Bapak tidak pernah mengajak saya berjualan lagi. Katanya Bapak pindah tempat jualan.

Menjadi anak tunggal Bapak (selama 6 tahun) bukan berarti sangat dimanja dan tidak pernah dimarahi. Waktu itu pukul 15.00 saatnya mengaji di TPA, tapi saya belum pulang. Saya masih bermain di kampung sebelah bersama teman-teman saya yang tidak ikut TPA. Sesampainya di rumah saya diminta tetap berangkat TPA, tapi saya tidak mau karena saya malu berangkat terlambat. Saking keras kepalanya, saya dihajar menggunakan ikat pinggang Bapak warna hitam sambil teriak, “Kapok nggak? Janji nggak besok nggak ngulangi lagi?!”. Dan saya menangis sekeras-kerasnya. Sepertinya hanya sekali itu saya dihajar. Padahal menurut saya ada kesalahan yang lebih fatal dari itu. Begini ceritanya…


Waktu itu di depan pos ronda, terparkir sebuah mobil VW merah hati milik Pak RW. Saya, Reni, dan Anah (tiga serangkai seumuran, tetangga, se-genk, sekelas di SD tapi tidak di TPA) sedang bermain di pos ronda. Mulanya kami bermain taplak (geling-geling kalau bahasa Demak) menggunakan pecahan ubin. Karena bosan, kami berinisiatif menggambar mobil Pak RW menggunakan pecahan ubin tersebut. Dari depan sampai belakang kami buat gambar sesuka hati. Ada gambar orang, ada tulisan-tulisan: Anah ‘love’ Dimas, Sofi ‘love’ Dimas, Reni ‘love’ Dimas, Sofi, Reni, Anah, dll. Btw, Dimas anak Pak RW yang sedikit lebih tua dari kami dan dia cakep. Selesai melakukan vandalisme tersebut kami kabur, kami tau itu salah tapi kami tidak tau kalau kesalahan itu berbayar mahal yang harus ditanggung kedua orang tua kami. Dan anehnya untuk kesalahan itu, Bapak tidak memarahi saya, apalagi menghajar.

Bersambung...

Comments

Most read

Di Balik Bait yang Menyentuh Hati 2

Kali ini tentang cinta. Cerdasnya itu orang yang bisa menghubung-hubungkan bait-bait alfiyah dengan cinta. Mewakili kegamanganku pula isinya. Wes jannn... santri Sarang!!! Ini saya beri sedikit tambahan kata-kata dari saya. Meskipun begitu, ide pokoknya tetap dari teman saya itu. Sayangnya, sepertinya ada yang terdistorsi karena keteledoran saya. Mau nyari lagi ketemunya lama... Ah, ya udah ini dulu ya ^_^ "Faqod yakunaani munakkaroini, kama yakunaani mu'arrofaini” "Alfiyah Ibnu Malik bab Atof bait 537" Terkadang pasangan suami istri itu ditemukan secara kebetulan sama tidak mengenalnya, dan terkadang keduanya sudah mengenal sejak kecil. Menikah adalah saat dimana ketidaksempurnaan bukan masalah yang dipermasalahkan Saat dimana ketulusan diikatkan sebagai senyum kasih Saat dimana kesendirian dicampakkan sebagai kebersamaan Saat dimana kesetiaan harga mati yang tak bisa dilelang Gadis perawan bagaikan penghalang dan satir bagi laki-laki yang