“Katanya, cobaan dan kesulitan adalah tanda sayang
Allah terhadap kita. Lalu, kalau selalu diberi kemudahan apakah itu artinya
Allah tidak sayang terhadap kita?”
Pertanyaan itu sesekali muncul di kepala saya
akhir-akhir ini. Pasalnya saya merasa Allah selalu memberi kemudahan terhadap
saya, ketika skripsi misalnya. Alhamdulillah oleh karenanya saya sidang skripsi
pada tanggal 21 Februari 2017. Banyak yang tercengang, banyak yang kagum,
banyak juga yang nyinyir :D. Yang nyinyir adalah orang-orang yang hanya tahu
hasil akhir sehingga menyimpulkan sendiri sesuai keinginannya. Orang-orang itu
bilang: Ya wajar skripsimu cepet, kan ga
pake ambil data segala; Di kampusku nemui dosen susah banget e makanya ga
kelar-kelar; Kakak angkatanku ada yang sampe semester 14 belum lulus soalnya emang ngerjain skripsi di
tempatku tuh terkenal paling susah; Kalo aku di jurusanmu paling juga aku udah
lulus; masih banyak lagi alasannya. Dan saya seperti biasa, tidak ambil pusing. Senyumin ajah.
Tulisan ini bukan membahas soal siapa yang tercepat,
melainkan proses dalam pengerjaan skripsi yang saya alami.
Topik
Topik skripsi saya adalah lanjutan dari tugas saya di
semester lima, linguistik kognitif. Objek yang diteliti sama, rayuan. Lalu
kajiannya adalah metafora konseptual dalam linguistik kognitif. Pangkalnya dari
sana, tapi ujung-ujungnya banyak yang diubah karena ternyata pemahaman saya di
semester 5 tentang teori tersebut keliru. Dan saya baru sadar ketika saya
mengerjakan bab dua di pertengahan liburan semester tujuh ke delapan. -_-
Mengapa saya mengambil topik ini? Karena saya belum
ada pandangan untuk mengambil topik lain, itu yang paling utama. Tapi
sesungguhnya saya memang tertarik dengan linguistik kognitif. Ini adalah kajian
baru di Sastra Indonesia. Linguistik kognitif mengkaji isi pikiran manusia
melalui apa yang dituturkannya. Ini yang membuatnya berbeda dari linguistik
biasa yang hanya mengkaji apa yang sudah dituturkan oleh manusia. Oleh karena
ini kajian baru, hanya ada satu dosen yang menguasai hal ini di jurusan, bahkan
fakultas saya. Beliau lah yang nantinya menjadi dosen pembimbing saya.
Dosen
Dosen linguistik kognitif di semester 5 telah
menyatakan bersedia menjadi dosen pembimbing saya kalau saya melanjutkan tugas saya
untuk dijadikan skripsi. Maka jadilah sejak semester 6 akhir saya secara ilegal
telah dibimbing oleh beliau. Tapi di penghujung liburan menuju semester 7,
beliau mengabari saya bahwa semester depan beliau akan mengajar di Korea selama
setahun. Waktu itu saya belum memikirkan langkah apa yang harus perbuat
selanjutnya, lalu saya pergi KKN begitu saja, pulang-pulang beliau sudah berada
di Korea.
Saya memasukkan proposal skripsi ke jurusan, kemudian
Pak ketua jurusan memilihkan seorang dosen pembimbing lain yang juga di bidang
linguistik. Tapi ketika saya menemui dosen tersebut untuk meminta kesediaannya
membimbing saya, beliau menolaknya mentah-mentah. Beliau bilang tidak menguasai
teori yang saya pakai. Tapi alhamdulillahnya beliau menyarankan saya kembali ke
Pak Ketua jurusan untuk mengajukan dosen saya yang sedang berada di Korea. Dan
beliau juga menyarankan saya menghubungi dosen saya yang di Korea tersebut via
wasap. Mengapa alhamdulillah? Kalau tidak disarankan oleh beliau, saya mungkin
hanya akan terpaku meratapi nasib ditolak oleh dosen dan hanya menunggu
keputusan dari jurusan serta dosen yang berbaik hati mau membimbing saya.
Setelah saya hubungi, dosen saya yang di Korea dengan
senang hati menerima saya menjadi mahasiswa bimbingannya satu-satunya dengan
syarat: bimbingan setiap hari Senin via whasap, email, atau skype. Dan dengan
mudahnya Pak ketua jurusan mengizinkan saya bimbingan jarak jauh dengan dosen
tersebut.
Keberuntungan saya yang pertama
adalah mendapatkan DPS yang perfeksionis dan baik hati. Selama beliau di Korea,
saya bimbingan jarak jauh dan hanya memperbaiki proposal saja. Hal itu karena
proposal saja harus dirombak akibat berbagai kekeliruan yang terdapat di
dalamnya. Masa-masa paling horor adalah malam Senin karena beliau pasti
mengirim pesan mengingatkan kewajiban saya esok pagi sementara saya belum
mengerjakan apapun.
Proposal
Proposal skripsi adalah hasil akhir dari mata kuliah
seminar skripsi di semester 6 (ada juga yang batal sehingga mengulang membuat
proposal baru, alhamdulillah saya tidak). Seminar dibagi 3: linguistik, sastra,
dan filologi yang angkatan saya masing-masing berjumlah 13, 25, dan 4. Dari 13
anak yang mengambil linguistik, dulu kalau tidak salah ada 3 yang mengambil
linguistik kognitif. Lainnya morfologi, sintaksis, BIPA, leksikologi,
dialektologi, dan semantik. Dari 3 orang itu pada akhirnya hanya saya yang
bertahan dengan linguistik kognitif. Kedua teman saya mengaku berpindah haluan
karena DPA-nya tidak membolehkan mereka mengambil teori tersebut dengan alasan:
terlalu luas topiknya, sidangnya sulit, dosennya sedikit yang paham, bahkan
dibumbui “nanti kamu kesulitan”. Saya bertahan karena DPA saya tidak melarang
atau menyarankan saya soal itu, lebih tepatnya saya tidak dekat dengan DPA saya
sehingga beliau tidak tahu topik apa yang saya ambil. Maka jadilah proposal
saya satu-satunya membahas linguistik kognitif.
Kalau dihitung dari semester 5 (awal mula tugas),
seharusnya di semester 7 proposal saya sudah sangat matang dong ya… Tapi
kenyataannya saya belum benar-benar paham apa yang saya kerjakan sehingga
perbaikan proposal itu sendiri memakan waktu berbulan-bulan, atau tepatnya satu
semester. Kalau ditanya semester 7 dapat apa? Dapat proposal to’ jawabnya. Tidak
ambil kuliah karena untungnya SKS kuliah sudah saya borong di semester
sebelumnya.
Bersambung…
Comments
Post a Comment