Skip to main content

Peka


Seandainya kekerasan dalam segi hukum tidak hanya dinilai dari bukti fisik, tetapi psikis, pastilah orang-orang paham bahwa sebagian besar mereka yang bunuh diri itu sejatinya hanyalah korban pembunuhan. Fisik bisa diperban, tampak oleh mata. Namun, bagaimana dengan hati yang tersayat, jantung yang tak sudi lagi difungsikan, apalagi darah yang tak sampai teraliri ke otak. Berhenti pada satu titik, lalu tersumbat. Setiap detik menekan syaraf lainnya. Menggelapkan pandangan. Mengaburkan kewarasan.

Perut apabila mendapat tekanan dari ujung pisau, maka semburat darah segar berhamburan keluar. Akibat apa? Ada tekanan.
Leher apabila tertekan oleh seikat tali bersimpul yang tergantung, maka menghambat jalur pernapasan, sesak, pengap, menghentikan pompa jantung. Akibat apa? Ada tekanan.

Dalam hukum, seseorang yang mengetahui adanya tindak kekerasan, tetapi ia justru mendiamkan, membiarkan, seolah mengizinkan kezaliman itu terus menyiksa korban, pastilah ia juga bisa dijerat pasal. Layaknya seorang yang mendiamkan koruptor, memfasilitasi koruptor, atau mendapat jatah dari hasil kelicikan koruptor, mereka jua akan mendapat pasal terkait korupsi. Lantas, pernahkah orang-orang berpikir bagaimana kerabat pelaku bunuh diri yang mengabaikan dan tak peduli saat perasaan orang yang disayangnya tertekan, selalu memakan kutukan demi kutukan. Terhempas pada dinding abstrak yang tak tampak, kemudian terlindas roda kehidupan. Bukan deras tangis terhentikan, tetapi biasanya orang terdekatlah pelaku sesungguhnya.

Bagaimana psikis seseorang? Kemarin bisa saja percaya dirinya teguh, kuat, tetapi bagaimana kalau di suatu menit saat kekecewaan demi kekecewaan terlalu mengenaskan lebur bersama kecaman yang terus menekan, ditambah orang terdekat bukan menguatkan, melainkan meludahi sindiran yang bertumpuk setiap harinya, lalu dalam menit itu jualah ia mendambakan ketenangan yang disalah-artikan, lantas semudah itukah ia disalahkan telah melukai dirinya sendiri? Siapa yang sejatinya melukai? Dan siapa yang sejatinya bertahan di atas luka yang mungkin saja sudah mengoyak-menganga? Siapa pelaku dan siapa korban?

Namanya manusia pasti ada masa ia lelah dalam benteng pertahanan, ditambah ketidak-pedulian orang sekitar. Sampai kapan ia dibiarkan melawan tekanan demi tekanan itu sendirian? Jika kekhilafan itu mendominasi, lantas apakah hanya dirinya yang patut disalahkan?

Hidup itu dua kali (di dunia dan akhirat), tetapi mati hanya sekali (pemisah dunia dengan akhiratmu). Hidup yang salah masih bisa diperbaiki, tetapi cara mati yang salah akan membinasakanmu selamanya.

Tuhan, kuatkan...

Comments

Most read

Di Balik Bait yang Menyentuh Hati 2

Kali ini tentang cinta. Cerdasnya itu orang yang bisa menghubung-hubungkan bait-bait alfiyah dengan cinta. Mewakili kegamanganku pula isinya. Wes jannn... santri Sarang!!! Ini saya beri sedikit tambahan kata-kata dari saya. Meskipun begitu, ide pokoknya tetap dari teman saya itu. Sayangnya, sepertinya ada yang terdistorsi karena keteledoran saya. Mau nyari lagi ketemunya lama... Ah, ya udah ini dulu ya ^_^ "Faqod yakunaani munakkaroini, kama yakunaani mu'arrofaini” "Alfiyah Ibnu Malik bab Atof bait 537" Terkadang pasangan suami istri itu ditemukan secara kebetulan sama tidak mengenalnya, dan terkadang keduanya sudah mengenal sejak kecil. Menikah adalah saat dimana ketidaksempurnaan bukan masalah yang dipermasalahkan Saat dimana ketulusan diikatkan sebagai senyum kasih Saat dimana kesendirian dicampakkan sebagai kebersamaan Saat dimana kesetiaan harga mati yang tak bisa dilelang Gadis perawan bagaikan penghalang dan satir bagi laki-laki yang