Skip to main content

Catatan Malam Minggu (untuk 18+)


Sudah hampir sepuluh hari saya berada di Jungpasir, mengobati kerinduan saya terhadap rumah dan seisinya. Malam ini dan malam Minggu lalu saya menyadari ada suara yang berbeda di sini. Kalau lantunan orang tadarus tiap malam di bulan Ramadhan dan lantunan Al-Barzanji tiap malam di bulan Maulid sih sudah biasa. Dan kalau tiap malam Jum’at tiap speaker musholla diramaikan oleh lantunan Al-Barzanji juga biasa. Masalahnya ini tiap malam Minggu loh ada lantunan bacaan Qur’an. WOW. Kata orang tua saya itu program dari desa, khataman Qur’an bergilir tiap minggu dan dikhatamkan tiap malam Minggu di masjid kebanggan kami, Masjid Al-Azhar.

Malam Minggu membawa ingatan saya menuju saat-saat sebelum menikah kurang lebih setahun punjul yang lalu. Karena saya sudah menikah, bolehlah kiranya saya menuliskan hal yang mungkin bagi sebagian orang sungkan untuk membahasnya. Tapi bagi pasangan halal atau yang mau menuju halal, kuy belajar tentang proses pembuatan anak (yang tidak asal-asalan).

Suatu hari ketika suami saya dan guru saya (Buya Ali) sedang mendiskusikan keprihatinannya terhadap remaja masa kini, guru saya nyeletuk sambil guyon, “Yo iku Pak, masalae cah-cah saiki produk malam Minggu wong tuone.” Hal ini diceritakan suami saya untuk memuaskan nafsu ingin tahu saya ketika kami sedang pillow talk membahas ilmu suami istri yang dulu pernah kami pelajari.

Bagi yang pernah mondok atau mengaji pastinya tidak asing lagi dengan Kitab Qurrotul Uyun, Fathul Izar, ‘Uqudul Lujain, dll. Kalau kalian sudah familiar dengan kitab-kitab itu, lewati saja tulisan ini karena saya tidak menulis ini untuk kalian para master. Tetapi saya menuliskannya sebagai kenangan yang sangat berharga untuk kehidupan saya.

Beruntung sekali rasanya saya dan suami memiliki seorang guru yang (tidak sengaja) sama, yang menganggap kami sebagai murid dan bersedia membimbing kami dalam hal ibadah (sebab semua yang kita lakukan di dunia bisa bernilai ibadah kan). Salah satu jasanya pada kami yang paling berharga selain mengenalkan kami ke jalan Aydrusiyyin adalah bimbingannya sebelum kami menikah. Sebab menikah adalah ibadah yang paling lama dan sangat indah bila dijalankan dengan benar dan sesuai aturan.

Dua bulan sebelum menikah, Buya Ali mengirimkan pesan:


Membaca pesan itu, selftalk saya langsung ramai, Hah masa aku ngelakuin ini? Gimana caranya? Aku kan ga biasa. Mamak pasti terheran-heran, atau malah ketawa. Duuuuh gimana nih… Tapi ini perintah dari Buya Ali, gimana pun aku harus lakuin. Soalnya kalo enggak nanti Buya Ali pasti tau. Lagian ini untuk kebaikan hidup selanjutnya, Sofi, harus dilakuin, Aduh tapi maluuu. Kalo nggak dilakuin tapi eman-eman. Dan seterusnya selftalk saya masih berbunyi sampai saya ketiduran di bus waktu itu.

Pada akhirnya saya betul-betul melakukannya, membuang segala selftalk yang tidak memberdayakan, dan menyusun skenario: saya pura-pura ketiduran di kamar ibu saya, kalau dibangunin bilangnya lagi pengen tidur di sini. Lalu tengah malam saya bangun dengan mengendap-endap pura-pura ke kamar mandi, balik dari kamar mandi ibu saya tertidur pulas, saya lakukan apa yang Buya Ali perintahkan, selesai, tidur lagi.

Treng tereeeeng…
Skenario kita tentu tidak seindah skenario Allah. Kenyataannya saya harus mengulang dari bagian pura-pura ke kamar mandi sampai dua kali. Lalu baru disentuh sedikit kakinya belum sampai memijat, ibu saya bangun karena geli. Sebab sudah terlanjur sampai sini, yasudah saya lakukan skenario selanjutnya yaitu mencium telapak kakinya, meminta maaf, dan meminta doanya supaya pernikahan nanti berjalan lancar, mudah, dikaruniai anak-anak yang baik, rizki yang mudah, dan sehat wal afiat.

Sebelum menikah, kami juga sempat mengaji lagi eksklusif dengan beliau. Di perjalanan Jogja-Solo menuju makam Habib Anis Al-Habsyi, dengan rinci beliau menerangkan tentang pernikahan, tahap demi tahap saat akad, yaitu: suami istri tidak boleh duduk berdampingan sebelum akad (alhamdulillah di desa saya memang begini adatnya); setelah akad terucap, mempelai pria yang menjemput mempelai wanita, bukan wanita yang mendatangi pria; setelah itu mempelai wanita mencium tangan mempelai pria, tangan kiri mempelai pria diletakkan di kepala mempelai wanita sambil mendoakannya (doanya ada nanti, plus boleh ditambah doa apa saja sebanyak-banyaknya karena di situ sangat mustajabah), lalu gantian mempelai pria mencium tangan mempelai wanita sambil mempelai wanita berdoa juga sebanyak-banyaknya untuk mempelai pria (bagian ini tidak tertulis di kitab tetapi dilakukan oleh gurunya gurunya guru saya).

Lalu di hari H apakah berjalan sesuai rencana? Hm, sebagian besar iya tapi ada sebagian lain yang di luar rencana. Pertama adalah bagian suami mendoakan saya, tiba-tiba ada orang lain yang ikut mendoakan seolah mempelai pria tidak bisa berdoa sendiri. Hal ini membuat suami saya tidak bisa terlalu khsuyuk berdoa, -hm masalahnya yang ikut doain itu pake mic gaesss. Belum selesai berdoanya sudah dituntun untuk ganti acara. Untuk bagian ini saya pernah menyaksikan memang ada mempelai pria yang menyuruh orang lain untuk berdoa. Atau memang di sini adatnya begitu? Entah.

Kedua, bagian lain yang membuat orang-orang terheran-heran adalah ketika:

Yups, tangan saya dicium oleh suami saya. Kalau hal ini sudah saya perkirakan sebelumnya karena memang tidak pernah saya saksikan adegan ini di mana-mana, wkwk. Buya Ali menerangkan bahwa bergantian mencium tangan itu bukan hanya ketika akad, melainkan setiap selesai sholat, setiap suami mau berangkat kerja, dan saat-saat yang lain. Sebab suami istri itu sejatinya setara kedudukannya dan saling melengkapi. Adegan suami mencium tangan istri seolah menyiratkan bahwa: Dek, mulai saat ini kita setara, aku menyayangimu aku menghormatimu juga, hanya saja aku imam dan kau makmumnya. Sebab suami istri itu bersinergi satu sama lain, tidak perlu ada yang merasa paling hebat karena tangan yang satu tidak akan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain.

Berikut adalah rangkuman sebagian dari pembekalan kami yang dicatat dari hasil rekaman suami saya:

Nah, ini sebetulnya ada dua halaman, untuk yang bagian Mujama’ah sengaja tidak saya share karena menggunakan bahasa yang apa adanya. Semua ada adabnya dan setiap tahap ada doanya. Bagi pasangan halal atau yang otw halal bisa minta halaman keduanya dengan cara dm akun instagram saya. Hehe. Lumayan buat belajar supaya tidak asal-asalan ya kan.

Sebab Islam itu sangat runtut dan istimewa. Untuk hal-hal yang kecil seperti meludah saja ada adabnya. Apalagi menikah, sungguh itu bukan hal yang kecil. Karena setelah menikah ada benih yang akan tumbuh. Dan benih itu harus baik agar tidak berat pertanggungjawaban kita di akhirat. Tahapan utamanya dimulai dari memilih pasangan yang baik, bukan sekadar senang dan cinta, apalagi butuh saja. Setelah itu masih ada lagi proses pembuatannya yang membutuhkan kesabaran. Kalau sudah hamil masih banyak lagi tirakat-tirakat dan amalannya. (Catatan tentang hamil bisa jadi satu tulisan lagi nih). Sebab menurut guru saya mendidik anak itu lebih mudah sebelum lahir, sebab kalau sudah lahir ibarat benda yang sudah jadi. Lebih sulit diubah-ubah lagi.

Kalau sudah lahir? Tahap ini insya Allah lebih mudah kalau tahap-tahap sebelumnya dilakukan sesuai dengan perintah Allah. Kalau terlanjur lahir? Ya gak papa, yuk mari upgrade diri dengan belajar dan berusaha semampu kita untuk lebih baik dan menjadikan keturunan kita lebih baik. Kelak yang ditanya adalah proses dan usahanya, bukan hasilnya.

Semoga semua yang membaca dan keturunan-keturunannya dijauhkan dari zina. Aaamiiin…
Dan doa saya semoga daerah-daerah lain mencontoh Desa Jungpasir ini dalam hal memberdayakan malam Minggu untuk ibadah agar mindset malam Minggu bisa berubah. Yang sudah halal saja tidak dianjurkan berhubungan di malam Minggu, apalagi yang belum halal?

Jungpasir, Wedung, Demak
7 Desember 2019

Comments

  1. Inspiring...
    Tambahan sedikit untuk tulisa istriku ini yaa.

    "Semua pasti menginginkan pasangan yang sholeh atau sholehah, namun terkadang banyak dari kita lupa diri dan tidak memantaskan diri. Seharusnya jika maunya demikian, memantaskan diri adalah suatu keharusan, karena "Jika kalian berbuat baik, maka kebaikan itu akan kembali pada dirinya".

    Saya punya prinsip "kita sekarang adalah cerminan anak-anak kita di masa yang akan datang", dengan ini kita akan enggan dan pikir-pikir mau maksiat, malas-malasan, dll.

    Sekian

    ReplyDelete

Post a Comment

Most read

Di Balik Bait yang Menyentuh Hati 2

Kali ini tentang cinta. Cerdasnya itu orang yang bisa menghubung-hubungkan bait-bait alfiyah dengan cinta. Mewakili kegamanganku pula isinya. Wes jannn... santri Sarang!!! Ini saya beri sedikit tambahan kata-kata dari saya. Meskipun begitu, ide pokoknya tetap dari teman saya itu. Sayangnya, sepertinya ada yang terdistorsi karena keteledoran saya. Mau nyari lagi ketemunya lama... Ah, ya udah ini dulu ya ^_^ "Faqod yakunaani munakkaroini, kama yakunaani mu'arrofaini” "Alfiyah Ibnu Malik bab Atof bait 537" Terkadang pasangan suami istri itu ditemukan secara kebetulan sama tidak mengenalnya, dan terkadang keduanya sudah mengenal sejak kecil. Menikah adalah saat dimana ketidaksempurnaan bukan masalah yang dipermasalahkan Saat dimana ketulusan diikatkan sebagai senyum kasih Saat dimana kesendirian dicampakkan sebagai kebersamaan Saat dimana kesetiaan harga mati yang tak bisa dilelang Gadis perawan bagaikan penghalang dan satir bagi laki-laki yang